MENJELANG tahapan kampanye pemilu serentak 2024 yang akan dimulai pada 28 November 2023, politik uang menjadi kewaspadaan dini dan memiliki potensi kerawanan tinggi.
Praktik politik uang dalam proses penyelenggaraan pemilu dan pemilihan di Indonesia menjadi problem yang tidak pernah usai.
Ironisnya, politik uang dianggap sebagai hal lumrah. Bahkan ketika calon tidak membawa uang, maka calon tersebut dianggap tidak layak dan kredibel untuk dipilih (Muhtadi, 2020).
Saat ini, politik uang tidak hanya menyasar kepada pemilih, namun juga kepada penyelenggara pemilu.
Kasus penetapan tersangka salah salah satu anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia, Wahyu Setiawan bersama tiga orang lainnya atas kasus dugaan penerimaan hadiah/janji terkait dengan proses pergantian antarwaktu anggota DPR RI pada Pemilu Serentak 2019, menjadi potret nyata bahwa integritas penyelenggara pemilu tidak ada yang menjamin.
Modus politik uang juga mengalami transformasi. Pada pemilu atau pilkada sebelumnya, politik uang hanya ditujukan kepada individu.
Kini, pemberian suap diberikan kepada kelompok masyarakat bukan dalam bentuk uang, tetapi dengan pemberian berbagai fasilitas, seperti pembangunan jembatan, pengaspalan jalan, renovasi masjid, pemberian jasa kepada ibu-ibu PKK atau ormas perempuan dan lainnya.
Bahkan ada yang lebih canggih lagi politik uang kepada individu dilakukan melalui e-money. Semua itu masih dapat dikategorikan sebagai praktik menyuap pilihan masyarakat.
Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) juga semakin sulit melakukan penindakan pelanggaran dan antisipasi bayang-bayang politik uang yang sangat kental dan modus yang kian beragam.
Hal ini menuntut KPU sebagai lembaga yang berwenang membuat aturan secara teknis dan perundang-undangan untuk mengatur tahapan pemilu, termasuk kampanye agar pelanggaran politik uang dapat diawasi.
Dengan masa jeda tahapan kampanye yang sangat panjang juga mengakibatkan peredaran politik uang atau dana ilegal lainnya tidak bisa ditindak maksimal.
Kondisi tersebut bisa memicu korupsi politik dan terjadinya kompetisi pemilu yang tidak adil dan setara.
Tidak heran ketika peristiwa pembagian uang zakat dalam amplop berlogo partai di Sumenep pada 24 Maret 2023, Bawaslu menyatakan tidak terpenuninya syarat formil dan materil karena subjek hukumnya tidak sesuai dengan yang diklasifikasi undang-undang dan dilakukan di luar tahapan kampanye.
Dalam posisi seperti ini, Bawaslu tidak dapat memproses hukum secara jauh meskipun jelas terlihat bahwa pembagian uang dan sembako dilakukan di tempat ibadah.
Menguatnya politik uang dalam kontestasi demokrasi menjadi indikasi semakin merosotnya indeks antikorupsi pascapemilu.