KHARISMA Soekarno tidak pernah pudar, bahkan di sebagian masyarakat menjadi mitos. Rencana membuat patung Soekarno dengan ukuran gigantik di Kota Bandung adalah salah satu usaha untuk mengabadikan kharisma itu.
Namun, akhirnya memicu kontroversi karena terlalu terlihat kepentingan politk praktisnya, terlebih sekarang merupakan tahun politik. Ada juga yang mengkritisi dari aspek ideologi, agama, dan hanya sekadar proyek dengan nominal yang cukup besar.
Perkataan Soekarno,“jangan sekali-kali meninggalkan sejarah” (Jasmerah) harus dimaknai secara substantif, tidak tekstual.
Bung Karno sering mengatakan “warisi apinya, bukan abunya.” Setiap zaman ada pahlawannya. Peran Bung Karno sangat diperlukan rakyat nusantara pada zaman kolonialisme di mana bangsa kita berabad-abad dibodohi dan ditakut-takuti oleh penjajah.
Kemunculan Bung Karno memberikan harapan baru seperti mesias atau ratu adil yang datang untuk menyelamatkan rakyat dari penderitaan dan ketidakadilan.
Untuk zaman sekarang yang diperlukan bukan mesias atau ratu adil seperti itu lagi, akan tetapi seorang pembuat perubahan seperti Elon Musk, Mark Zuckerberg, Bill Gates, dan inovator kelas wahid lainnya.
Namun bukan berarti ajaran Bung Karno sudah tidak relevan lagi, yang harus dilakukan adalah aktualisasi dari nilai-nilai ajaran Bung Karno dan spirit yang dibawanya pada zaman sekarang.
Menurut saya, api kehidupan Bung Karno yang bisa dipelajari dan kemudian diterapkan kepada bangsa Indonesia, terutama generasi muda, adalah tangga kehidupannya atau road map kehidupannya.
Formulai kehidupan Bung Karno sangat jelas tergambar dari perjalanan hidup beliau, di antaranya adalah mimpi, determinasi, literasi, dan kontribusi.
Di samping itu, yang paling menentukan juga adalah lingkungan keluarga, masyarakat, dan negara yang membentuk kepribadian Bung Karno masa kecil.
Tahun 1901 bukanlah tahun yang sakral, akan tetapi memiliki arti dalam sejarah nusantara. Tahun ini saat di mana Ratu Wilhelmina berpidato di parlemen mendeklarasikan politik etis atas Hindia. Maka terjadilah era zaman penjajahan baru.
Pada 1901 ini juga, tepatnya 6 Juni, Soekarno dilahirkan ke dunia, ibunya menjulukinya Putra Sang Fajar, sedangkan bapaknya menjulukinya Karno Kedua, karena menginginkan seperti Karna salah satu tokoh pewayangan yang dijuluki sang pencari jati diri memalui keterbukaan hati.
Bukan hanya di keluarga, di sekolah pun Soekarno mendapapat julukan dari para gurunya. Misalnya Dowes Dekker (Dr. Setiabudhi) mengatakan,“Anak muda ini akan menjadi 'juru selamat’ dari rakyat Indonesia di masa yang akan datang.”
HOS Tjokroaminoto juga berkata,“Ikutilah anak ini. Dia diutus oleh Tuhan untuk menjadi pemimpin besar kita. Aku bangga karena telah memberinya tempat berteduh di rumahku.”
Julukan atau labelling sangat memengaruhi kepribadian anak, disubut juga self-fulfilling prophecy— istilah sosiologis yang digunakan untuk menggambarkan prediksi yang menyebabkan dirinya menjadi kenyataan. Sangat beralasan apabila kita dianjurkan untuk memberikan nama yang bagus buat anak.