DULU pada 1980-an, ada peristiwa Petrus (Penembak Misterius). Waktu itu, orang-orang bertato dan preman jalanan dilabeli sebagai pelaku kejahatan.
Lalu muncullah Operasi Pemberantasan Kejahatan (OPK) yang digelar oleh Garnisun Kodim 0734 Yogyakarta pada 1983. Orang bertato tersebut dinyatakan sebagai penganggu ketertiban umum yang pantas dibunuh.
Kemudian pembunuhan tersebut semakin meluas dan terkonsentrasi di kota-kota besar lainnya, seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, hingga Semarang. Ribuan orang tewas ditembak secara mengenaskan oleh penembak misterius tanpa pernah diadili.
Para korban Petrus mayatnya dibuang di depan bioskop, di tengah pasar yang ramai, bahkan di sekolah-sekolah tempat anak-anak belajar. Mayatnya dalam kondisi mengenaskan, terikat dan bekas luka penyiksaan.
Pemuda bertato meskipun sebagai bentuk seni jadi ketakutan menjadi sasaran Petrus.
Peristiwa Petrus ini menjadi sejarah kelam dan masih menjadi traumatik publik atas adanya praktik sewenang-wenangan penguasa.
Peristiwa pelanggaran HAM berat tersebut kemudian salah-satu pemicu penumbangan Soeharto menuntut reformasi 1998.
Sekarang lagi gencar-gencarnya aksi pemberantasan perdagangan orang (Human Trafficking) dilakukan oleh Satuan Tugas Tindak Pidana Perdagangan Orang (Satgas TPPO) dari kepolisian.
Aksi ini menyasar dan terkonsentrasi kepada Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang dulu disebut TKI.
Isu TPPO akhir-akhir ini mencuat beranjak dari data yang disampaikan BP2MI bersama Kemenko Polhukam, bahwa ada 1.900 mayat PMI dikirim ke Indonesia disebabkan praktik TPPO.
Dilaporkan juga, ada sebanyak 5 juta PMI berangkat secara ilegal dari 9 juta PMI di seluruh dunia. Lalu dinyatakan korban praktik TPPO.
Data tersebut menjadi dasar yang kuat terbitnya Perpres No. 19 Tahun 2023 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang Tahun 2020-2024.
Satuan Tugas Tindak Pidana Perdagangan Orang (Satgas TPPO) langsung bergerak cepat. Dari operasi Satgas TPPO yang diliput media, beberapa ribu PMI ilegal berhasil digagalkan keberangkatannya yang hendak bekerja keluar negeri (istilah Satgas TPPO diselamatkan). Beberapa ratus orang diduga pelaku TPPO ditangkap.
Kinerja ini kemudian diklaim sebagai prestasi Satgas TPPO dalam gerak cepat melaksanakan perintah Presiden Jokowi pada pemberantasan praktik TPPO.
Peristiwa ini penting dipantau oleh publik untuk mengetahui kebenarannya. Apalagi hal ini menyangkut kepentingan hajat hidup orang banyak atas Hak Asasi Manusia mendapat pekerjaan.
Terutama mengecek atau melakukan validitas data yang disampaikan BP2MI dan Menkopolkam Mahfud MD. Kesalahan data bisa berakibat fatal dalam mengambil keputusan.
Selain itu, publik penting memantau kerja Satgas TPPO di lapangan agar tidak terjadi "Petrusisasi" bentuk lain. Yaitu melabeli para pencari kerja migran dan jasa penyalur melakukan praktik TPPO. Mereka belum tentu korban dan terlibat kasus TPPO.
"Petrusisasi" ala sekarang bisa berpotensi membunuh HAM mendapatkan pekerjaan yang dijamin oleh konstitusi Indonesia dan Konvensi Internasional.
Aksi operasi Satgas TPPO di lapangan tanpa dibekali pemahaman matang tentang TPPO dan PMI bisa berpotensi terjadi praktik abuse of power yang mencampur-adukan antara kasus TPPO dengan kasus maladministrasi.
Wewenang Satgas TPPO menindak pelaku perdagangan orang, namun melebar ke PMI unprosedural yang semestinya menjadi kewenangan Kementerian Tenaga Kerja dan BP2MI untuk menindaknya.
Calon PMI legal yang sedang dalam tahap proses pun jadi ketakutan dipermasalahkan oleh Satgas TPPO.
Ada kasus PMI ditahan dan dipulangkan karena dianggap sebagai korban TPPO, sementara mereka PMI legal masih dalam tahap proses. Sementara kasus PMI unprosedural, bukan korban TPPO, mereka tidak difasilitasi untuk berangkat legal.
Sebagaimana dijelaskan di atas, dua data BP2MI perlu diuji kebenarannya. Pertama, data sebanyak 1.900 mayat PMI meninggal akibat TPPO atau penganiayaan per tahun.
Meskipun berapa hari kemudian, data tersebut dikoreksi oleh BP2MI, bahwa 1.900 kantong jenazah dikirim ke Indonesia tersebut adalah dalam kurun waktu 3 tahun dari berbagai negara. Jadi, sebenarnya rata-rata 634 mayat PMI per tahun dikirim ke Indonesia.
BP2MI juga menyampaikan banyak penyebab PMI meninggal. Namun tidak diuraikan persentase masing-masing variasi tersebut, seperti berapa angka korban meninggal akibat TPPO, berapa akibat kecelakaan kerja, sakit dan akibat lainnya.
Sebenarnya data ini bisa diuraikan oleh BP2MI secara rinci ke publik dengan mengambil data manifes pengiriman mayat, terutama pada Sertifikat Medis Penyebab Kematian - Medical Certificate of Cause of Death (MCCD). Dari sana bisa diketahui penyebab kematian dan di mana seseorang itu meninggal.
BP2MI hanya menyampaikan rata-rata penyebab kematian karena korban penyiksaan dan kelelahan imbas dieksploitasi selama bekerja di luar negeri. Ini cara kerja kurang profesional.
Namun, meskipun jumlahnya sudah dikoreksi, tetapi Menkopolkam Mahfud MD sudah terlanjur mengungkap data salah tersebut ke presiden dan publik: bahwa 1.900 mayat PMI dikirim setiap tahun ke Indonesia, lalu mengeneralisasinya sebagai korban TPPO.
Berdasarkan data dari World Bank, mortalitas (angka rata-rata kematian penduduk) di Indonesia adalah 6,5 per 1.000 penduduk. Secara sederhana, rata-rata angka kematian di Indonesia dari berbagai penyebab ialah 0,65 persen per tahun.
Dari 9 juta jumlah PMI berada di seluruh dunia dikali 0,65 persen sama dengan 58.500 kantong mayat semestinya dikirim ke Indonesia per tahun. Sementara, peti jenazah PMI dikirim ke Indonesia rata-rata sebanyak 634 mayat PMI.
Angka kematian PMI ini jauh lebih kecil dari mortalitas, yaitu berkisar 0,007 persen dari 9 juta PMI berada di seluruh dunia. Kecilnya angka kematian ini bisa saja karena mereka berusia produktif, berumur antara 19 - 50 tahun.
Kedua, data dilaporkan oleh BP2MI, bahwa ada 5 juta PMI ilegal dari 9 juta Warga Negara Indonesia bekerja di seluruh dunia.
Lalu dinyatakan BP2MI, bahwa PMI ilegal tersebut adalah 80 persen korban TPPO. Artinya, ada sekitar 4 juta PMI korban TPPO yang sedang mengalami penganiayaan, eksploitasi atau diperas keringatnya untuk mendapat keuntungan.