JAKARTA, KOMPAS.com - Eks Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana menyampaikan bahwa pernyataannya terkait bocoran putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai sistem pemilu merupakan bentuk pandangan kritisnya.
"Saya menghormati MK, dan karenanya menyampaikan sikap dan pandangan kritis, termasuk melakukan pengawalan lewat kampanye publik (public campaign) dan kampanye media (media campaign)," ujar Denny lewat keterangannya, Rabu (14/6/2023).
Di lain pihak, ia mengatakan bahwa sikapnya tersebut rawan disalahpahami sebagai bentuk intervensi.
"Rasa hormat tidak selalu harus diwujudkan dengan puja-puji yang menghanyutkan, tetapi bisa pula dengan teguran sayang yang mengingatkan. Saya sangat mengerti pengawalan kritis demikian rawan disalahpahami sebagai bentuk intervensi, dan karenanya mudah dijerat dengan delik pidana, atau kriminalisasi," ujar Denny.
Baca juga: Denny Indrayana: Semoga Putusan MK soal Sistem Pemilu Tak Untungkan Kubu Politik Tertentu
Hal ini Denny sampaikan dalam menanggapi pihak MK yang mengagendakan jumpa pers khusus untuk menyampaikan sikap resmi kelembagaan terkait pernyataan Denny.
Sementara itu, Denny mengaku paham bahwa setiap tekanan kepada hakim dapat dianggap sebagai gangguan atas prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan dapat diketagorikan sebagai contempt of court.
Ia mengutip bagian Pertimbangan 3.19 Putusan MK Nomor 1—2/PUU-XII/2014 pasca-ditangkapnya Ketua MK Akil Mochtar karena kasus suap.
"Namun, izin saya menyampaikan pandangan, pertimbangan demikian hanya tepat jika sistem penegakan hukum kita juga sudah ideal dan jauh dari praktik koruptif peradilan, ketika semua penegak hukum menjunjung etika profesionalitas dan integritas melawan praktik mafia peradilan," ujar Denny.
Ia menyinggung bahwa Mahkamah Agung pun kini dinodai kasus mafia hukum yang diproses KPK.
Baca juga: Dipolisikan soal Info Putusan MK, Denny Indrayana: Kalau Jadi Kriminalisasi, Saya Akan Lawan
Demikian juga kasus Akil Mochtar dan Patrialis Akbar di MK dianggap menjadi alasan bahwa kontrol publik atas lembaga peradilan tetap diperlukan.
"Kontrol melalui penyampaian pendapat semestinya dilihat sebagai bentuk partisipasi publik yang bermakna (meaningful public participation), untuk menjaga agar MK tidak masuk ke dalam pusaran politik praktis, termasuk ke dalam jebakan strategi pemenangan Pileg dan Pilpres 2024," kata Denny yang juga bakal calon anggota DPR RI dari Partai Demokrat tersebut.
Sebelumnya, nama Denny erat dikaitkan dengan perkara sistem pemilu yang bergulir di MK setelah dirinya mengaku mendapatkan informasi bahwa majelis hakim konstitusi akan memutuskan bahwa pemilu legislatif akan kembali ke sistem proporsional daftar calon tertutup.
"Pagi ini saya mendapatkan informasi penting. MK akan memutuskan pemilu legislatif kembali ke sistem proporsional tertutup, kembali memilih tanda gambar partai saja," ujar Denny lewat keterangan tertulisnya, Minggu (28/5/2023).
Menurut dia, 6 hakim konstitusi menyetujui hal itu, dan hanya 3 hakim konstitusi yang menolaknya.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM Mahfud MD menuduh Denny membocorkan rahasia negara, meskipun faktanya MK belum sama sekali mengagendakan RPH terkait putusan perkara ini ketika itu.