Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Usai Pengacara Lukas Enembe, Giliran Kadis PUPR Papua yang Ditetapkan KPK Sebagai Tersangka

Kompas.com - 03/05/2023, 17:00 WIB
Syakirun Ni'am,
Dani Prabowo

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kadis PUPR) Provinsi Papua, Gerius One Yoman sebagai tersangka dugaan suap dan gratifikasi.

Juru Bicara Penindakan dan Kelembagaan KPK, Ali Fikri menyatakan, penetapan tersangka ini dilakukan setelah tim penyidik menemukan pihak lain yang berperan dalam kasus suap Gubernur Papua, Lukas Enembe.

Menurutnya, Gerius diduga menerima suap dan gratifikasi itu bersama-sama dengan Lukas.

Baca juga: Praperadilan Lukas Enembe Ditolak, KPK: Kami Patuh Hukum dan Junjung Tinggi HAM

“KPK telah tetapkan Kadis PUPR Provinsi Papua sebagai tersangka dalam perkara ini,” kata Ali saat ditemui awak media di gedung Merah Putih KPK, Rabu (3/5/2023).

Adapun perkara rasuah tersebut masih terkait dengan sejumlah proyek pembangunan infrastruktur di lingkungan Pemerintah Provinsi Papua.

Ali mengatakan, dalam waktu kedepan pihaknya akan mengumumkan dengan detail perbuatan Gerius berikut pasal yang disangkakan.

Penetapan tersangka baru ini adalah bentuk komitmen KPK untuk membawa seluruh pihak yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum ke persidangan,” kata Ali.

Baca juga: KPK Tetapkan Pengacara Lukas Enembe Berinisial R Tersangka Perintangan Penyidikan

Diketahui, Gerius masuk dalam daftar pencegahan yang diajukan KPK kepada pihak Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).

Subkoordinator Humas Ditjen Imigrasi, Achmad Nursaleh mengatakan, bawahan Lukas itu dicegah selama 6 bulan kedepan mulai dari 12 April hingga 12 Oktober 2023.

“Diusulkan oleh KPK,” kata Nursaleh.

Saat ini, KPK telah menetapkan 6 tersangka baru dalam perkara rasuah Lukas Enembe.

Mereka adalah Lukas dan penyuapnya, Rijatono Lakka selaku Direktur PT Tabi Bangun Papua sebagai tersangka tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Baca juga: Praperadilan Lukas Enembe Ditolak

Kemudian, KPK juga menetapkan dua pemberi suap lainnnya, Kadis PUPR Papua, dan pengacara Lukas berinisial R.

Lukas sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka dugaan suap dan gratifikasi terkait proyek infrastruktur yang bersumber dari APBD pada September tahun lalu.

Awalnya, KPK hanya menemukan bukti aliran suap Rp 1 miliar dari Direktur PT Tabi Bangun Papua, Rijatono Lakka ke Lukas.

Dalam persidangan Rijatono Lakka yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, terungkap jumlah suap yang diberikan kepada Lukas mencapai Rp 35.429.555.850 atau Rp 35,4 miliar.

Baca juga: Jelang Putusan Praperadilan, Pendukung Lukas Enembe Penuhi Ruang Sidang PN Jaksel

“Terdakwa sebagai tim sukses Lukas Enembe kemudian meminta pekerjaan atau proyek kepada Lukas Enembe sebagai kompensasinya,” ujar Jaksa KPK Ariawan Agustiartono dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Rabu (5/4/2023).

Belakangan, KPK menetapkan Lukas sebagai tersangka dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Status ini naik ke tahap sidik setelah KPK menemukan bukti permulaan yang cukup.

KPK kemudian mengembangkan perkara rasuah itu dan menetapkan Lukas sebagai tersangka pencucian uang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Nasional
Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di 'Presidential Club'

Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di "Presidential Club"

Nasional
Sebut SBY Setuju Prabowo Bentuk 'Presidential Club', Demokrat: Seperti yang AS Lakukan

Sebut SBY Setuju Prabowo Bentuk "Presidential Club", Demokrat: Seperti yang AS Lakukan

Nasional
Jokowi Diperkirakan Bakal Gunakan Pengaruhnya di Pilkada Serentak 2024

Jokowi Diperkirakan Bakal Gunakan Pengaruhnya di Pilkada Serentak 2024

Nasional
Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

Nasional
Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

Nasional
'Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya'

"Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya"

Nasional
Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Nasional
Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Nasional
Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

Nasional
Anggap “Presidential Club” Positif, Cak Imin:  Waktunya Lupakan Perbedaan dan Konflik

Anggap “Presidential Club” Positif, Cak Imin: Waktunya Lupakan Perbedaan dan Konflik

Nasional
Anggap Positif “Presidential Club” yang Ingin Dibentuk Prabowo, Cak Imin: Pemerintah Bisa Lebih Produktif

Anggap Positif “Presidential Club” yang Ingin Dibentuk Prabowo, Cak Imin: Pemerintah Bisa Lebih Produktif

Nasional
Jokowi Gowes Sepeda Kayu di CFD Jakarta, Warga Kaget dan Minta 'Selfie'

Jokowi Gowes Sepeda Kayu di CFD Jakarta, Warga Kaget dan Minta "Selfie"

Nasional
Ketidakharmonisan Hubungan Presiden Terdahulu jadi Tantangan Prabowo Wujudkan 'Presidential Club'

Ketidakharmonisan Hubungan Presiden Terdahulu jadi Tantangan Prabowo Wujudkan "Presidential Club"

Nasional
Bela Jokowi, Projo: PDI-P Baperan Ketika Kalah, Cerminan Ketidakdewasaan Berpolitik

Bela Jokowi, Projo: PDI-P Baperan Ketika Kalah, Cerminan Ketidakdewasaan Berpolitik

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com