JAKARTA. KOMPAS.com - Ketua Satgas Bencana Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Kurniawan Taufiq Kadafi menyebut usia anak yakni di bawah umur 18 tahun sangat rentan terkena dampak buruk dari krisis iklim.
Menurutnya, anak memiliki karakteristik yang unik dan berbeda dengan golongan usia lainnya sehingga berakibat pada daya tahan yang berbeda pula.
"Jadi, anak itu punya karakteristik yang unik, anak itu bukan dewasa mini. Dimana proses pada anak sebagian besar proses tubuhnya berbeda atau fisiologisnya berbeda dengan orang dewasa," ujar pria yang akrab disapa Kadafi itu dalam konferensi pers IDAI secara daring pada Selasa, (2/5/2023).
Perbedaan secara fisiologis bisa dilihat dari daya hirup udara anak yang lebih banyak dibandingkan orang dewasa.
Baca juga: PBB Peringatkan Ancaman Krisis Air Dunia, Krisis Iklim Bikin Tambah Parah
Kadafi menyebut, laju nafas pada bayi yaitu sekitar 40 sampai dengan 50 napas per menit. Sedangkan orang dewasa hanya sekitar 18 sampai dengan 20 napas per menit.
"Dengan banyak menghirup udara, memudahkan anak menyerap atau menghirup bahan yang sifatnya berbahaya di udara," katanya.
Selain itu, anak-anak sekitar usia bayi tiga tahun (batita) merupakan tahap usia yang suka mengeksplor banyak hal dengan bermain di luar rumah dan terpapar udara kotor.
Dengan begitu, kata Kadafi, mereka sering berinteraksi dengan bahan kotor dan memasukkannya ke dalam mulut.
Baca juga: Krisis Iklim Ini Nyata, Suami Kami Kehilangan Pekerjaan, Anak-anak Putus Sekolah
"Dan dari aspek psikologi, kita sering lihat anak rasa penasarannya tinggi. Jadi segala sesuatu yang sekiranya dibilang berbahaya malah menimbulkan tanda tanya sehingga menimbulkan keinginan coba-coba," ungkap dokter spesialis anak tersebut.
Lebih lanjut, ujar Kadafi, anak-anak juga sulit mengungkapkan rasa sakit yang dialaminya karena keterbatasan dalam mengekspresikan apa yang dirasakan.
Biasanya, para orang tua mengetahui rasa sakit anak saat sudah di fase lanjutan tanpa mengetahui keluhan awal.
"Keluhan awal tidak diungkapkan secara jelas, tapi dia ekspilisit hanya menangis saja. Anak memang mempunyai kekhususan," kata dia.
Diketahui, berdasarkan paparan Kadafi, dalam 30 tahun terakhir, rata-rata suhu permukaan bumi di Indonesia meningkat sebesat 0,1 derajat celcius. Jika dikalkulasikan dari tahun 1866 hingga 2020, suhu permukaan bumi di Indonesia meningkat 1,6 derajat celcius.
Peningkatan suhu tentunya berdampak pada intensitas bencana alam yang terjadi di Indonesia, misalnya banjir yang membuat anak rentan terkontaminasi air kotor.
"Yang dibutuhkan dari kita adalah effort nyata untuk mencegah dampak tersebut terutama kalau kita sudut pandangnya anak atau orang dewasa, yang kelompok rentan, adalah bagaimana pencegahannya," imbuhnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.