JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga mendorong pelaku pelecehan seksual di pondok pesantren (ponpes) Al-Minhaj di Wonosegoro Bandar, Batang, Jawa Tengah, bernama Wildan Mashuri Amin (57) dihukum maksimal.
Menurut Bintang, tidak ada toleransi bagi pelaku kekerasan seksual. Perbuatan terduga pelaku yang sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kepolisian Resor (Polres) Batang dapat diancam dengan hukuman maksimal.
"Ini sangat memilukan dan kami menegaskan bahwa tidak ada toleransi bagi pelaku kekerasan seksual,” kata Bintang dalam siaran pers di Jakarta, Selasa (28/4/2023).
Bintang menegaskan, pelaku layak dihukum seberat-beratnya dan mendapat hukuman maksimal sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Baca juga: Kemenag Cabut Izin Pesantren Al-Minhaj Batang Imbas Kekerasan Seksual
Terduga pelaku dapat diancam dengan hukuman pidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun serta denda paling banyak Rp 5 miliar.
Hukuman tersebut merujuk pada Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi UU, pada pasal 81 Ayat (1), (2), (3), (5), (6), dan (7).
Selain itu, dapat dikenakan pidana tambahan berupa tindakan berupa kebiri kimia, pengumuman identitas pelaku dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.
Ia pun mengecam keras tindak kekerasan seksual tersebut. Pondok pesantren kata dia, seharusnya menjadi ruang aman bagi para santri untuk menuntut ilmu.
Baca juga: Buntut Kasus Pencabulan, Kemenag Bakal Cabut Izin Pesantren Al-Minhaj Batang
“Saya mengecam keras setiap tindak kekerasan seksual, terlebih terjadi di ruang yang seharusnya aman dan nyaman bagi anak untuk tumbuh dan berkembang," ucap dia.
"Orang tua mempercayakan anaknya untuk dididik dalam sebuah lembaga pendidikan agar menjadi anak yang cerdas, mandiri, dan berakhlak mulia, tetapi mereka justru mendapat kekerasan dari oknum pendidiknya," imbuh Bintang.
Lebih lanjut, Bintang menegaskan, korban berhak mendapat resitusi.
Hal ini berpedoman pada UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) jo UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, jo Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Restitusi, Kompensasi, Bantuan Saksi, dan Korban jo PP Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak yang menjadi Korban Tindak Pidana.
Dalam UU TPKS, Pasal 30 Ayat (1) menyatakan, Korban TPKS berhak mendapatkan restitusi dan layanan pemulihan.
Pada Ayat (2) menyatakan ganti kerugian tersebut berupa ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan; ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat TPKS; penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis; dan/atau ganti kerugian atas kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat TPKS.
Adapun saat ini, pihaknya berkoordinasi dengan DP3AKB Provinsi Jawa Tengah; Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kabupaten Batang; serta Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kabupaten Batang untuk memastikan korban mendapat penanganan psikis yang tepat dan sesuai dengan kebutuhannya.
Baca juga: Jokowi Bertemu Komnas Perempuan, Bahas UU TPKS Hingga Perlindungan untuk Perempuan Pekerja