Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Syafbrani ZA
Penulis dan Konsultan Publikasi

Penulis Buku diantaranya UN, The End..., Suara Guru Suara Tuhan, Bergiat pada Education Analyst Society (EDANS)

Menyoal Gaya Hidup Hedonis Anak (Pejabat)

Kompas.com - 24/02/2023, 16:37 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Saya ingatkan masalah gaya hidup, lifestyle, jangan sampai dalam situasi yang sulit ada letupan-letupan sosial karena ada kecemburuan sosial ekonomi, hati-hati."

PETIKAN kalimat di atas adalah salah satu isi pesan dari sambutan Presiden Jokowi yang disampaikan kepada para perwira tinggi Mabes Polri, kapolda, serta kapolres se-Indonesia, pada Oktober 2022.

Secara kasat mata, peringatan ini memang disampaikan Presiden dalam forum akbar petinggi kepolisian. Namun secara substantif seharusnya menjadi pelajaran bagi kita bersama.

Mengapa demikian? Pertama karena pesan substantif tersebut langsung diucapkan oleh RI 1. Oleh karena itu, selayaknya menjadi catatan khusus tidak hanya kepada mereka yang hadir di forum tersebut, tetapi juga kepada para pejabat yang telah mendapatkan fasilitas dengan sumber pembiayaan dari anggaran pemerintah.

Kedua, letupan-letupan sosial sebagaimana yang disampaikan Jokowi itu bukan hanya menyangkut persoalan gaya hidup semata.

Lebih dari itu, bisa menjadi terciptanya percikan-percikan dalam tubuh masyarakat dengan berbagai aksi turunannya: intoleransi, radikalisme, dan bukan tidak mungkin akan bermuara pada runtuhnya bangunan kepercayaan masyarakat bagi penyelenggara negara.

Padahal di satu sisi negara sedang bergerak untuk menciptakan tatanan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya.

Andai semua kita mengilhami pesan yang disampaikan Presiden tersebut — sekali lagi, khususnya kepada para penyelenggara negara — tentulah kita tidak akan menemui lagi atraksi-atraksi dari gaya hidup pejabat negara yang kemudian memunculkan beragam persoalan lanjutan.

Di antaranya adalah ketika perilaku-perilaku hedon ini merasuki kehidupan anak-anak.

Bukan hanya anak-anak pejabat yang memang sejak lahir telah terfasilitasi kehidupannya untuk tumbuh secara hedonis. Lebih dari itu, apa yang terjadi kemudian ketika sikap foya-foya ini juga menjangkiti anak-anak yang orangtuanya tidak memiliki kekuatan finansial?

Oleh karena itu, supaya persoalan hedonisme ini tidak semakin larut dalam kehidupan anak-anak yang seharusnya mereka hidup dalam kebersamaan, kedamaian, dan kegembiraan, ada baiknya secara insaf kita menata ulang beberapa hal yang berkaitan dengan kehidupan dan masa depannya.

Hal pertama, tentunya adalah kemampuan pemerintah dalam mengelola gaya hidup pejabat negara. Bertugas sebagai pelayan publik sepatutnya menjadikan kepentingan publik lebih utama dari pada kepentingan pribadi.

Hukum sederhananya, andai kepentingan pribadi lebih didahulukan, maka bisa jadi dari sinilah munculnya beragam aksi untuk melakukan tindakan yang menguntungkan diri semata. Misalnya korupsi.

Kenyataan yang terlihat sepertinya negara memang masih sulit untuk menata aksi korupsi itu. Semua lini pemerintahan sudah ternodai oleh para koruptor.

Sampai hari ini, kabar-kabar penjarahan uang negara itu masih menjadi berita yang menghiasi lini media massa.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com