Salin Artikel

Menyoal Gaya Hidup Hedonis Anak (Pejabat)

PETIKAN kalimat di atas adalah salah satu isi pesan dari sambutan Presiden Jokowi yang disampaikan kepada para perwira tinggi Mabes Polri, kapolda, serta kapolres se-Indonesia, pada Oktober 2022.

Secara kasat mata, peringatan ini memang disampaikan Presiden dalam forum akbar petinggi kepolisian. Namun secara substantif seharusnya menjadi pelajaran bagi kita bersama.

Mengapa demikian? Pertama karena pesan substantif tersebut langsung diucapkan oleh RI 1. Oleh karena itu, selayaknya menjadi catatan khusus tidak hanya kepada mereka yang hadir di forum tersebut, tetapi juga kepada para pejabat yang telah mendapatkan fasilitas dengan sumber pembiayaan dari anggaran pemerintah.

Kedua, letupan-letupan sosial sebagaimana yang disampaikan Jokowi itu bukan hanya menyangkut persoalan gaya hidup semata.

Lebih dari itu, bisa menjadi terciptanya percikan-percikan dalam tubuh masyarakat dengan berbagai aksi turunannya: intoleransi, radikalisme, dan bukan tidak mungkin akan bermuara pada runtuhnya bangunan kepercayaan masyarakat bagi penyelenggara negara.

Padahal di satu sisi negara sedang bergerak untuk menciptakan tatanan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya.

Andai semua kita mengilhami pesan yang disampaikan Presiden tersebut — sekali lagi, khususnya kepada para penyelenggara negara — tentulah kita tidak akan menemui lagi atraksi-atraksi dari gaya hidup pejabat negara yang kemudian memunculkan beragam persoalan lanjutan.

Di antaranya adalah ketika perilaku-perilaku hedon ini merasuki kehidupan anak-anak.

Bukan hanya anak-anak pejabat yang memang sejak lahir telah terfasilitasi kehidupannya untuk tumbuh secara hedonis. Lebih dari itu, apa yang terjadi kemudian ketika sikap foya-foya ini juga menjangkiti anak-anak yang orangtuanya tidak memiliki kekuatan finansial?

Oleh karena itu, supaya persoalan hedonisme ini tidak semakin larut dalam kehidupan anak-anak yang seharusnya mereka hidup dalam kebersamaan, kedamaian, dan kegembiraan, ada baiknya secara insaf kita menata ulang beberapa hal yang berkaitan dengan kehidupan dan masa depannya.

Hal pertama, tentunya adalah kemampuan pemerintah dalam mengelola gaya hidup pejabat negara. Bertugas sebagai pelayan publik sepatutnya menjadikan kepentingan publik lebih utama dari pada kepentingan pribadi.

Hukum sederhananya, andai kepentingan pribadi lebih didahulukan, maka bisa jadi dari sinilah munculnya beragam aksi untuk melakukan tindakan yang menguntungkan diri semata. Misalnya korupsi.

Kenyataan yang terlihat sepertinya negara memang masih sulit untuk menata aksi korupsi itu. Semua lini pemerintahan sudah ternodai oleh para koruptor.

Sampai hari ini, kabar-kabar penjarahan uang negara itu masih menjadi berita yang menghiasi lini media massa.

Mungkin kita bisa menyepakati untuk beralibi bahwa tidak ada hubungan langsung antara gaya hidup dengan perilaku korupsi. Akan tetapi kenyataanya dan bahkan beberapa hasil penelitian menemukan ada hubungan yang erat di antara keduanya.

Ini artinya usaha untuk memutus mata rantai perilaku hedonis sehingga tidak sampai pada anak-anak di antaranya adalah dengan menekan semaksimal mungkin peluang-peluang orangtuanya untuk melakukan tindakan korupsi. Bukankah begitu?

Rumusnya sesederhana itu. Hanya saja implementasinya memang butuh daya dukung yang kuat.

Di tengah gempuran kemajuan teknologi, kita nyaris bebas melihat aksi-aksi pejabat publik termasuk keluarga-keluarganya atau siapapun itu yang mengumbar aksi narsisnya di berbagai kanal sosial media.

Akibatnya, secara psikologis akan menghadirkan dorongan-dorongan untuk ‘ingin begini, ingin begitu.’

Anak-anak itu juga demikian. Di tengah fase yang masih labil, mereka akan terus berjalan mencari sosok-sosok yang bisa menjadi ‘panutan.’

Nah, kalau sosok-sosok yang diilhaminya itu hidup dalam nuansa glamor, akan berusaha menjadi glamorlah nantinya. Sebaliknya, ketika nuansa-nuansa kesederhanaan yang dilihatnya, maka naluri empatinya akan tumbuh.

Selanjutnya, usaha mengikis anak-anak agar jauh dari budaya hidup yang hedonis juga bisa dimulai dari keluarga masing-masing.

Di antaranya dengan memperkuat integritas dirinya. Bukan kemudian mengajarkan mereka tentang strategi ‘orang dekat’ dalam meraih apa yang dicita-citakan.

Cerita-cerita hadirnya pungli atau jual beli kursi pada proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di sekolah. Kisah-kisah suap pada proses Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) di kampus.

Laporan-laporan jual beli tugas akhir kuliah sampai pada praktik perjokian pada tes penerimaan Aparatur Sipil Negara (ASN).

Semuanya ini menjadi kisah betapa keluarga dan orangtuanya dengan tega berperan menjadi aktor yang merontokkan integritas diri anak-anaknya.

Akhirnya, kita harus sadari bersama bahwa perilaku hedonis anak itu bukan sekadar terlahir dari rahim keluarga yang secara ekonominya melimpah-ruah. Bukan juga akibat dari status sosial yang tinggi.

Hedonisme terlahir ketika bangunan integritas dirinya mulai rusak akibat butuhnya pengakuan-pengakuan dalam kehidupan yang dipaksakan.

Dan, semakin menggeliat perilakunya itu ketika status-status pengakuan tersebut dicapai dengan cara-cara instan.

Kelak, kepekaan diri dan empati yang dimiliki akan lenyap tak berbekas. Hedonisme akan tumbuh subur dan memunculkan perilaku-perilaku yang di luar nalar kemanusian.

Kita hanya bisa terperangah dengan aksi-aksinya. Sambil menerka-nerka apa sebenarnya yang terjadi padahal dalam takaran biologis mereka masih berkategori anak-anak.

Jadi, akankah kita biarkan ini terus berlarut? Sementara itu, negara ini telah memiliki ‘saldo’ kesenjangan yang lumayan tinggi. Rasio Gini kita per tahun 2022 tercatat masih sebesar 0,381.

Seperti yang sudah diperingatkan Pak Presiden: “Hati-hati”

https://nasional.kompas.com/read/2023/02/24/16370121/menyoal-gaya-hidup-hedonis-anak-pejabat

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke