ANDAI Jenderal Polisi Hoegeng Imam Santoso masih ada, saya yakin pasti sosok polisi jujur itu akan terus-menerus menangis, mirip Fajar Sadboy yang tengah viral saat ini. Jika Fajar kerap mewek karena persoalan cewek yang memutuskan percintaannya, Jenderal Hoegeng yang menjadi Kapolri di era 1968-1971 itu akan menangis kecewa karena ulah polisi masa kini.
Betapa tidak, pemberitaan di media akhir-akhir ini dipenuhi dengan kisah-kisah polisi “brengsek”. Ada perempuan “simpanan” polisi yang jemawa menyebut dirinya ikut iring-iringan konvoi kendaraan polisi karena mendapat izin dari suaminya dan kendaraanya lalu menabrak hingga tewas pengendara sepeda motor karena urusan “penting” dengan polisi “gendakkannya”.
Ada polisi yang tajir melintir hingga kepelintir asal-usul perolehan hartanya terkait kedudukannya pada jabatan “basah” yang bisa mempermainkan kasus dan keadilan.
Baca juga: Tahan Tangis, Bripka Madih: Mohon Maaf Bapak Kapolri, Saya Masih Cinta Polisi
Ada polisi, provos lagi, yang merasa “dikerjai” polisi lainnya karena urusan jual beli tanah. Agar urusan tanah beres, polisi yang menjadi penyidik meminta tarif dan upeti tanah kepada polisi yang orangtuanya memiliki tanah.
Belum lagi, kisah kegetiran anak buah bekas Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri yang mengaku dikorbankan komandannya karena urusan pribadi, tetapi kini harus menderita dan merana. Tidak saja karir dan namanya tercoreng, keluarga polisi yang "sial" itu juga mengalami tekanan hidup.
Yang lebih ambyaar lagi, ada polisi memerintahkan polisi “menilep” barang bukti untuk dijual ke bandar narkoba di kampung narkoba. Kapolda memerintahkan kapolres, dan kapolres menyuruh kapolsek. Isi perintahnya: jual sabu-sabu untuk mendapatkan fulus.
Kembali saya teringat dengan cerita-cerita kriminal klasik, untuk membongkar kejahatan jangan fokus ke penjahat yang dicurigai. Bisa jadi kejahatan itu datang dari hamba penegak hukum itu sendiri. Polisi yang harusnya memberantas kejahatan malah terjebak ke dalam pusaran kejahatan yang tiada henti.
Belum lagi jika mengulik kisah pensiunan polisi yang menabrak mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) Harsya Atalla Saputra hingga ajal menjemput menjadi gambaran kelamnya wajah kepolisian kita.
Ke dua kakek saya begitu bangga menjadi polisi hingga akhir hayat mereka, walau pangkatnya begitu rendah. Tetapi justru dari kerendahan pangkatnya saya bisa mengambil pelajaran betapa ajaran kehidupannya begitu tinggi.
Kakek saya begitu tersinggung jika ada yang mengolok “prit jigo” sebagai simbolisasi polisi brengsek yang bisa disuap dengan uang Rp 25 untuk pelanggaran ringan lalu lintas. Kala itu, di tahun 1970-an, nilai mata uang Rp 25 masih tergolong lumayan. Mungkin ke dua kakek saya akan lebih tersinggung lagi jika sekarang ini harga “prit jigo” sudah bermetamorfosis menjadi “prit miliar”.
Kedua kakek saya itu -keduanya sudah meninggal dunia- selalu berpesan, orang boleh berpangkat tinggi tetapi jika akhlaknya belangsak (buruk) maka dirinya sedang mempermalukan dirinya sendiri, keluarganya, serta institusinya. Pangkat rendah atau tinggi adalah titipan, sewaktu-waktu bisa berakhir jabatan tetapi kebaikan seorang polisi akan dikenang sepanjang hayat.
Kedua kakek saya itu, begitu mengagumi komandan tertingginya, Jenderal Hoegeng Imam Santoso.
Andai tidak merasa sebagai istri polisi yang bisa menyombongkan diri seenaknya, mungkin saja kasus tabrak lari terhadap mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Suryakencana, Selvi Amalia Nuraini (19), tidak terungkap dengan terang benderang. Pengakuan Nur (23) yang menjadi penumpang mobil mewah Audi A6 justru membuka “borok” hubungannya dengan Kompol D yang menjadi penyidik Polda Metro Jaya yang menangani kasus “serial killer” Wowon.
Nur belum menjadi istri yang sah, berlagak sebagai pengadil mirip polisi-polisi korup di film-film Barat. Dia membantah terlibat tabrakan, mencari alasan pembenar masuk iring-iringan konvoi. Pengakuannya janggal soal kepemilikan mobil, dan statusnya ternyata sebagai istri siri, padahal sebagai pegawai negeri, Kompol D terikat dengan larangan poligami.
Keputusan Kapolda Metro Jaya yang langsung melakukan sidang etik terhadap Kompol D dan memutasikannya ke Pelayanan Markas (Yanma) adalah langkah tepat untuk mengurai kasus yang mencoreng institusi. Kematian Selvi yang semula dituduh menghalang-halangi iring-iringan konvoi harus mendapat kejelasan dan keadilan.