JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar hukum kepemiluan Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini, menilai, usulan Wakil Ketua DPR RI Muhaimin Iskandar atau Cak Imin soal peghapusan pemilihan calon gubernur dan jabatan gubernur sulit untuk diwujudkan.
Sebabnya, jabatan gubernur diatur oleh konstitusi atau Undang-Undang Dasar 1945. Sehingga, untuk mewujudkan usulan tersebut, konstitusi harus diubah.
"Sedangkan amendemen konstitusi di tengah situasi saat ini hanya akan membuka kotak pandora bagi munculnya isu-isu kontroversial lainnya. Bukan suatu pilihan yang momentumnya tepat," kata Titi kepada Kompas.com, Rabu (1/2/2023).
Baca juga: Muhaimin Iskandar Usul Pemilihan Langsung Gubernur Dihapus
Pasal 18 Ayat (1) UUD 1945 menyebutkan, Indonesia sebagai negara kesatuan dibagi atas daerah-daerah provinsi. Selanjutnya, daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang mana tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota tersebut memiliki pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang.
Kemudian, Ayat (2) pasal yang sama berbunyi, pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Selanjutanya, Ayat (3) pasal tersebut mengatur bahwa gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
"Jadi posisi gubernur adalah posisi yang keberadaannya diatur oleh konstittusi. Sehingga, setiap gagasan yang ingin menghapuskannya artinya memerlukan mekanisme amendemen konstitusi untuk mewujudkannya," ujar Titi.
Baca juga: Muhaimin Usul Jabatan Gubernur Dihapus karena Tak Efektif dan Anggarannya Terlalu Besar
Titi mengatakan, kalau yang dipersoalkan Cak Imin adalah soal efektivitas kewenangan gubernur, hal itu sejatinya berada pada ranah pengaturan di tingkat undang-undang.
Jika kewenangan gubenur dirasa belum efektif, bisa dilakukan penyesuaian pada level undang-undang untuk menyelaraskannya.
"Pembentuk undang-undang bisa menatanya jadi lebih baik melalui revisi dalam UU tentang Pemerintahan Daerah," kata Titi.
Dengan struktur pemerintahan daerah yang mencakup kabupaten/kota, kata Titi, penghapusan jabatan gubernur justru akan memperlebar jarak rentang kendali antara pusat dan daerah.
Dampaknya, beban pemerintah pusat akan bertambah. Sebaliknya, efektivitas pengawasan terhadap penguasa berkurang.
Sedianya, lanjut Titi, dalam praktik demokrasi elektoral di Indonesia, gubernur merupakan sumber rekrutmen sirkulasi elite politik nasional.
Tak bisa dimungkiri, saat ini sebagian besar tokoh yang masuk bursa calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) adalah mereka yang berlatar belakang sebagai kepala daerah provinsi atau gubernur.
"Gubernur menjadi posisi untuk mempromosikan kinerja dan kepemimpinan menuju jabatan politik di tingkat nasional," kata Titi.