PADA 5 September 1972 teroris Black September menerobos masuk kawasan tempat tinggal atlet Israel di Olimpiade Musim Panas di Munich, Jerman. Sebelas atlet Israel tewas.
Tanggal 26 September 1972, merespon tragedi itu, Polisi Federal Jerman membentuk pasukan elite, unit taktis operasi khusus anti terror Greenzschutzgruppe-9 atau Penjaga Perbatasan Grup 9. Ini adalah sebuah contoh dari betapa rawannya wilayah perbatasan sebuah negara bila tidak diawasi dengan ketat.
Jauh sebelumnya, ratusan tahun sebelum Masehi sudah ada tembok China atau The Great Wall yang terkenal itu. Tembok yang dibangun sepanjang perbatasan untuk mencegah masuknya suku nomaden yang sering menyerang China ketika itu. Sebuah format dari ketatnya pengawasan perbatasan diperlukan untuk melindungi keamanan nasional.
Baca juga: Ke Natuna, Mahfud Tegaskan Perbatasan Negara Harus Diamankan
Berikutnya kita mengenal pula Tembok Berlin yang berfungsi sepanjang era perang dingin untuk memisahkan kawasan perbatasan kritis di daerah penuh ancaman antara blok Barat dengan Blok Timur. Tembok perbatasan bagi upaya menjaga national security.
Pada saat perang dingin muncul SDI (Strategic Defense Inisiative) di era Presiden Ronald Reagan. SDI tersebut berupa “pagar imajiner” di daerah perbatasan kritis untuk membentengi negara-negara Blok Barat terhadap kemungkinan serangan peluru kendali antar benua ICBM (Intercontinental Balistic Missile) dari Blok Timur.
Kesemua itu adalah contoh dari bagaimana konsep pagar di sepanjang daerah perbatasan terutama wilayah yang kritis telah menjadi prioritas atau bagian utama dari satu sistem pertahanan negara.
Itu sebabnya dilakukan pemeriksaan paspor oleh pihak imigrasi untuk memastikan bahwa orang-orang yang masuk ke sebuah negara adalah orang yang jelas identitasnya dan jelas kepentingannya.
Di banyak negara maju, antara lain di Australia, institusi imigrasi dijalankan oleh Department of Immigration and Border Protection atau Departemen Imigrasi dan Penjaga Perbatasan. Sekali lagi wilayah perbatasan negara adalah kawasan yang harus berada dalam pengawasan yang ketat. Dalam hal ini terutama sekali daerah perbatasan yang kritis atau rawan.
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai sebuah negara kepulauan terbesar di dunia dan mengandung kekayaan alam yang luar biasa, pasti menjadi incaran banyak negara untuk dapat menikmati kandungan kekayaan alamnya, baik secara legal maupun illegal.
Indonesia memang rawan diintervensi oleh kepentingan banyak negara. Itu sebabnya, wilayah perbatasan negara Indonesia menjadi sangat rawan. Salah satu wilayah perbatasan yang sangat amat rawan adalah kawasan Selat Malaka.
Selat Malaka merupakan jalur perdagangan paling padat di dunia, karena merupakan rute utama jalur lalu lintas manusia yang bepergian dan perdagangan barang dari wilayah India ke Timur Tengah dengan Asia Timur ke Pasifik dan sebaliknya. Ratusan ribu kapal melintas setiap tahunnya. Belum lagi aneka penyelundupan dan pencurian kekayaan laut Indonesia yang terjadi sepanjang waktu.
Baca juga: Curi Ikan di Selat Malaka, Nakhoda Kapal Asal Taiwan Didenda Rp 100 Juta
Itu sebab kawasan Selat Malaka sebagai wilayah perbatasan kritis dan rawan dipastikan memerlukan sistem pengawasan perbatasan yang super ketat.
Pengawasan super ketat baik di perairan dan terlebih lebih dari dan di udara. Dapat dibayangkan betapa fatalnya bila wilayah udara di wilayah perbatasan yang sangat amat rawan itu di delegasikan pengelolaannya kepada otoritas penerbangan negara lain.
Alasan tentang demi menjaga International Aviation Safety, sangat tidak masuk akal, karena terbukti pada tragedi kejadian 9/11 tahun 2001 di Amerika Serikat (AS).
Tanggal 11 September tahun 2001 sebuah pesawat American Airlines Boeing 767 yang memuat 20.000 galon bahan bakar jet menabrak North Tower Gedung World Trade Center di New York City pada pukul 08.45 pagi. Berikutnya, lebih kurang 18 menit kemudian Boeing 767 United Airlines 175 menghantam South Tower pada Gedung yang sama.