JAKARTA, KOMPAS.com - Ahli Epidemiologi dari Griffith University Australia, Dicky Budiman menyebut bahwa pemerintah telah gagal menyusul adanya kasus gangguan ginjal akut misterius (acute kidney injury/AKI) yang menyerang anak-anak.
Menurut Dicky, pemerintah gagal lantaran sudah banyak anak-anak yang meninggal akibat penyakit ini.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes), sebanyak 133 anak meninggal dunia. Sehingga, tingkat kematian (fatality rate) dari kasus ini mencapai 55 persen.
"Ya memang, ya memang sudah gagal. Saya harus sampaikan, memang gagal. Lho ini masalah jiwa lho. Berarti kita kecolongan, mohon maaf," kata Dicky dalam diskusi daring, Sabtu (22/10/2022).
Baca juga: Kemenkes dan BPOM Periksa Puluhan Obat Sirup yang Diminum Pasien Gangguan Ginjal Akut
Dicky mengatakan, jika benar dugaan penyebabnya berasal dari cemaran etilen glikol dalam obat sirup, artinya pemerintah dan regulator terkait memiliki regulasi yang lemah terhadap pengawasan.
Berdasarkan literatur yang dibacanya, regulasi yang lemah kerap terjadi di negara-negara berkembang yang memiliki kasus serupa.
Dalam tiga dekade terakhir, kasus-kasus gangguan atau gagal ginjal ini seringkali berkaitan dengan konsumsi obat yang tercemar.
Di sisi lain, kasus serupa jarang ditemukan di negara maju karena adanya kontrol pengawasan dan teknologi yang lebih mumpuni.
"Kalau bicara literatur itu banyaknya kelemahan di regulasi, pemantauan. Kita tahu negara berkembang, negara miskin, masalah quality assurance ini menjadi isu," ujarnya.
Baca juga: Kemenkes Bantah Terlambat Tangani Kasus Gangguan Ginjal Akut Misterius pada Anak
Kendati demikian, kata Dicky, kegagalan yang sudah terjadi bukan berarti harus dibiarkan.
Menurutnya, pemerintah harus bertindak cepat menangani kasus ini. Salah satunya dengan menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) untuk peristiwa gangguan ginjal akut misterius.
Dicky menyampaikan, kasus gangguan ginjal akut sudah memenuhi syarat dikategorikan sebagai KLB.
Salah satu kriteria yang sudah terpenuhi adalah cepatnya pemburukan pada pasien yang menjadi membuat tingkat kematian mencapai 55 persen. Kondisi ini serupa dengan kasus yang sama di Gambia, dengan tingkat kematian yang mencapai 50 persen.
"Kemudian, di Panama tahun 2006 outbreak. Itu (fatality rate-nya) di 50-an persen juga. Sebelumnya, tahun 90-an di Haiti bahkan mendekati 80 persen angka kematiannya. Karena faktor yang sama juga, jadi ada cemaran (dalam mengonsumsi obat)," kata Dicky.
Baca juga: Konsumsi Obat Sirup Dilarang, Kemenkes: Obat Anti Epilepsi Dapat Keistimewaan
Lebih lanjut, Dicky mengungkapkan, status KLB bukan hanya bisa disematkan pada kasus infeksi menular. Setiap kasus yang menyebar cepat, mendadak, dan tidak biasa patut dikategorikan untuk mendapat status KLB.