Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Furqan Jurdi
Praktisi Hukum dan Penulis

Aktivis Muda Muhammadiyah

Menata Ulang "Kerajaan Polisi"

Kompas.com - 17/10/2022, 05:50 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SETELAH bergulir reformasi, desakan untuk memisahkan polisi dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)-sekarang TNI, menjadi salah satu tuntutan reformasi.

Pemerintahan era Reformasi kemudian melakukan rangkaian kebijakan reformis, di antaranya: menetapkan TAP MPR RI No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan TAP MPR RI No. VII tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pada 1 April 1999, Presiden B. J. Habibie mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1999 tentang Langkah-langkah Kebijakan dalam Rangka Pemisahan Kepolisian dari ABRI.

Sejak diterbitkannya instruksi tersebut, Polri yang tadinya di bawah Mabes ABRI ditempatkan di bawah Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam). Pada perkembangan selanjutnya polisi akhirnya menjadi institusi yang langsung di bawah Presiden.

Dari segi konstitusi, TNI maupun Polri dalam UUD 1945 disebutkan sebagai alat negara, bukan lembaga negara.

Terdapat perbedaan mendasar mengenai tugas dan wewenang keduannya. Tentara bertugas mengamankan negara dari ancaman eksternal dengan kekerasan dan dalam kondisi tertentu bisa mengesampingkan HAM, sementara polisi bertugas mengamankan masyarakat agar tercipta ketertiban dan rasa aman serta tidak bisa mengesampingkan HAM.

Sebagai institusi yang diharapkan untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum serta melindungi, mengayomi dan memberikan pelayanan kepada masyarakat polri dituntut mengedepankan langkah humanis dengan seminimal mungkin menggunakan kekuatan dan senjata.

Pasca-otoritarianisme, terjadi peminggiran peran tentara dalam perspektif militerisme (baca: kekuatan senjata), menjadi keamanan nasional dalam perspektif tertib hukum dan perlindungan HAM. Polisi lah yang paling diandalkan dalam menjalankan tertib hukum itu.

Setelah 22 tahun Reformasi kepolisian dan pisahnya dari TNI, persoalan institusional kepolisian menjadi sorotan, lantaran polisi seperti sebuah mesin kekuasaan yang sulit untuk dikendalikan oleh sistem yang ada. Polisi bahkan dianggap memiliki "kerajaan sendiri".

Polisi bergeliat cukup kuat mengisi lembaga-lembaga negara. Seperti BNN, BNPT, BSSN, KPK hingga pengisian Penjabat kepala daerah. Karena kurangnya pembatasan dari UU maka itu memungkinkan terjadi.

Pelbagai kontroversi yang belakangan terjadi, merupakan puncak gunung es dari sebuah kegagalan sistem hukum yang mengatur masalah institusi kepolisian. Kegagalan sistem ini akan berdampak lebih luas daripada persoalan moralitas individu.

Kepolisian harus dikembalikan ke khittahnya sebagai institusi pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat.

Untuk itu perlu ada restrukturisasi kelembagaan yang lebih efektif ketimbang hanya memperbaiki persoalan yang muncul satu demi satu.

Kejahatan dan pelanggaran oknum serta sanksi yang diberikan, sama sekali tidak akan menghentikan lahirnya oknum-oknum yang bermoral rendah.

Dari kekerasan hingga kriminalitas

Sebaiknya kita jujur, bahwa institusional kepolisian masih mewarisi watak militeristik dengan citra “having force and power”.

Pandangan ini seiring dengan masih munculnya kasus kekerasan, pelanggaran HAM, serta belum adanya penegakan hukum yang berkeadilan dan akuntabel atas pelanggaran pelanggaran yang melibatkan aparat Polri.

Laporan Komnas HAM, misalnya, menunjukkan betapa sering terjadi tindakan kekerasan oleh polisi dalam waktu dua tahun terakhir yang melanggar HAM.

Terdapat 71 tindakan kekerasan dan 39 tindakan lainnya. Begitu juga catatan Amnesty Internasional, polisi adalah terduga pelaku serangan terhadap pembela HAM terbanyak sepanjang 2021.

Sepanjang Juni 2020 – Juni 2021 juga ada setidaknya 17 kasus penyiksaan yang diduga melibatkan anggota polisi dengan 30 korban. Sebanyak 402 orang dikabarkan terluka akibat kekerasan oleh polisi saat aksi #ReformasiDikorupsi di berbagai provinsi di Indonesia.

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengungkap temuan 677 kekerasan oleh aparat kepolisian sepanjang Juli 2021-Juni 2022.

Kekerasan itu paling banyak dilakukan menggunakan senjata api dengan 456 kasus. Deretan kekerasan tersebut menyebabkan 928 orang terluka, 59 jiwa tewas, dan 1.240 orang ditangkap.

Terbaru, kekerasan polisi di Wadas yang menimbulkan ketakutan dan trauma di masyarakat. Tindakan unlawful killing terhadap 6 Laksar FPI. Penggunaan senjata yang tidak pada tempatnya, telah mengakhiri nyawa 132 orang di Stadion Kanjuruhan Malang. Sebuah tragedi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Sentil KPU, Hakim MK Arief Hidayat: Sudah Hadir Ya Setelah Viral saya Marahi

Sentil KPU, Hakim MK Arief Hidayat: Sudah Hadir Ya Setelah Viral saya Marahi

Nasional
MPR Akan Temui Prabowo-Gibran Bicara Masalah Kebangsaan

MPR Akan Temui Prabowo-Gibran Bicara Masalah Kebangsaan

Nasional
Hakim Fahzal Hendri Pimpin Sidang Dugaan Gratifikasi dan TPPU Gazalba Saleh

Hakim Fahzal Hendri Pimpin Sidang Dugaan Gratifikasi dan TPPU Gazalba Saleh

Nasional
Hakim MK Saldi Isra Sindir Pemohon Gugatan Pileg Tidak Hadir: Kita Nyanyi Gugur Bunga

Hakim MK Saldi Isra Sindir Pemohon Gugatan Pileg Tidak Hadir: Kita Nyanyi Gugur Bunga

Nasional
Kaesang Sebut Ayahnya Akan Bantu Kampanye Pilkada, Jokowi: Itu Urusan PSI

Kaesang Sebut Ayahnya Akan Bantu Kampanye Pilkada, Jokowi: Itu Urusan PSI

Nasional
Oknum TNI AL Pukul Sopir Pikap di Bogor, Danpuspom: Ada Miskomunikasi di Jalan

Oknum TNI AL Pukul Sopir Pikap di Bogor, Danpuspom: Ada Miskomunikasi di Jalan

Nasional
Ruang Kerja Sekjen DPR Indra Iskandar Digeledah KPK, BURT: Proses Hukum Harus Kita Hormati

Ruang Kerja Sekjen DPR Indra Iskandar Digeledah KPK, BURT: Proses Hukum Harus Kita Hormati

Nasional
Kompolnas Duga Ada Pelanggaran Penugasan Brigadir RAT untuk Kawal Pengusaha

Kompolnas Duga Ada Pelanggaran Penugasan Brigadir RAT untuk Kawal Pengusaha

Nasional
Surya Paloh Pamer Nasdem Bisa Dukung Anies, tapi Tetap Berada di Pemerintahan Jokowi

Surya Paloh Pamer Nasdem Bisa Dukung Anies, tapi Tetap Berada di Pemerintahan Jokowi

Nasional
Sempat Ditunda, Sidang Praperadilan Pimpinan Ponpes Al Zaytun Panji Gumilang Digelar Lagi Hari Ini

Sempat Ditunda, Sidang Praperadilan Pimpinan Ponpes Al Zaytun Panji Gumilang Digelar Lagi Hari Ini

Nasional
Hardiknas 2024, Puan Maharani Soroti Ketimpangan Pendidikan hingga Kesejahteraan Guru

Hardiknas 2024, Puan Maharani Soroti Ketimpangan Pendidikan hingga Kesejahteraan Guru

Nasional
Rakornis, Puspom dan Propam Duduk Bersama Cegah Konflik TNI-Polri Terulang

Rakornis, Puspom dan Propam Duduk Bersama Cegah Konflik TNI-Polri Terulang

Nasional
Hardiknas 2024, Pertamina Goes To Campus 2024 Hadir di 15 Kampus Terkemuka

Hardiknas 2024, Pertamina Goes To Campus 2024 Hadir di 15 Kampus Terkemuka

Nasional
Atasan Tak Tahu Brigadir RAT Kawal Pengusaha di Jakarta, Kompolnas: Pimpinannya Harus Diperiksa

Atasan Tak Tahu Brigadir RAT Kawal Pengusaha di Jakarta, Kompolnas: Pimpinannya Harus Diperiksa

Nasional
Harap PTUN Kabulkan Gugatan, PDI-P: MPR Bisa Tidak Lantik Prabowo-Gibran

Harap PTUN Kabulkan Gugatan, PDI-P: MPR Bisa Tidak Lantik Prabowo-Gibran

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com