JAKARTA, KOMPAS.com - Wacana pencalonan Presiden Joko Widodo sebagai wakil presiden 2024 mencuat.
PDI Perjuangan, partai yang menaungi Jokowi kini, seakan memberikan sinyal lampu hijau jika mantan Gubernur DKI Jakarta itu berkehendak duduk di kursi RI-2.
Namun, diskursus ini langsung memunculkan kritik. Selain tak elok, Jokowi juga dinilai melanggar konstitusi jika merealisasikan wacana ini.
Ketua Badan Pemenangan Pemilu PDI Perjuangan Bambang Wuryanto mengatakan, Jokowi bisa saja menjadi wapres setelah menuntaskan jabatannya sebagai presiden.
Namun, itu bergantung pada kehendak Jokowi, apakah dirinya ingin mencalonkan diri sebagai orang nomor dua di Indonesia atau tidak.
"Kalau Pak Jokowi mau jadi wapres, ya sangat bisa," kata Bambang saat ditemui di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (13/9/2022).
"Kalau Pak Jokowi, kita enggak tahulah maunya kayak apa," tuturnya.
Baca juga: PDI-P: Jokowi Bisa Jadi Wapres pada 2024, Syaratnya...
Pria yang akrab disapa Bambang Pacul itu menyebutkan, Jokowi harus diusung oleh partai atau gabungan partai politik jika hendak mencalonkan diri sebagai wapres.
Di internal PDI-P sendiri, kata Bambang, nama capres dan cawapres akan diputuskan oleh Megawati Soekarnoputri selaku ketua umum partai.
Hingga kini, partai banteng belum memutuskan siapa kandidat yang akan mereka usung pada Pemilu 2024.
"Kalau masih merasa kader PDI-P, kader PDI-P harus disiplin organisasi. Putusan organisasi kita tegak lurus," kata Ketua Komisi III DPR RI itu.
Merespons wacana ini, Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor menilai, besar kemungkinan terjadi penyalahgunaan kekuasaan jika Jokowi menjadi wakil presiden.
Sebabnya, Jokowi telah menjabat sebagai presiden dua periode sepuluh tahun lamanya.
Membuka peluang Jokowi sebagai cawapres berarti memberikan kesempatan bagi mantan Gubernur DKI Jakarta itu untuk menjabat lebih lama lagi di pucuk pemerintahan.
"Saya kira besar (potensi penyalahgunaan kekuasaan). Sepuluh tahun (pemerintahan Jokowi) saja situasinya sudah seperti ini, banyak abuse of power, banyak keanehan-keanehan, banyak ketidakadilan dari sisi hukum, banyak oligarki," kata Firman kepada Kompas.com, Rabu (14/8/2022).