SUDAH sejak lama masyarakat mengenal kelas sosial. Setiap individu punya tingkatan sosial dalam menjalankan perannya.
Ada yang berasal dari kelas atas, entah karena faktor keturunan atau karena perjuangan dari bawah, dan ada yang berasal dari kelas bawah, entah karena keturunan juga atau karena malas berjuang.
Pemimpin politik, apalagi presiden, tentu menempati posisi kelas atas tanpa perlu diperdebatkan lagi.
Selalu ada hukum tak tertulis yang memaksa orang kelas atas, misalnya Presiden, untuk berinteraksi atau bersentuhan langsung sesedikit mungkin dengan orang-orang dari kelas bawah.
Hukum yang sama berlaku pula sebaliknya oleh masyarakat kelas bawah kepada tuan-tuan di kelas atas.
Interaksi terdekat seorang Presiden dengan masyarakat akar rumput hanya sering terlihat di masa kampanye jelang pemilu.
Biasanya, seorang presiden akan turun langsung ke jalan, dan berlagak menyatu dengan masyarakat biasa.
Ia akan memberi diri untuk dipeluk ibu-ibu, ngobrol dengan pedagang sayur atau berswafoto dengan orang-orang muda.
Kunjungan dan perjumpaan itu hanya berlaku semusim kampanye saja. Setelah itu, beliau biasanya akan bertengger kembali ke Istana dan hampir tidak pernah menunjukkan batang hidungnya lagi.
Presiden Jokowi sering melakukan aksi turun ke jalan dan ke tengah masyarakat. Terlepas dari kemungkinan motivasi pencitraan politik, beliau ‘menyentuh’ masyarakat secara langsung hampir dalam setiap kesempatan berada di luar lingkup Istana.
Aktivitas itu bahkan sudah seperti bagian integral dari rutinitas kerjanya dan tak terbatas pada periode kampanye saja.
“Blusukan”, demikian beliau menyebutnya. Istilah itu berasal dari kata Bahasa Jawa, ‘blusuk’ yang berarti masuk ke suatu daerah atau tempat. Istilah ini kemudian menjadi sebuah trend.
Trend ini melekat erat dengan karakter Presiden Jokowi, sebab ia sering mengunjungi langsung rakyat kecil, bahkan di tempat-tempat yang tak terduga; pasar, pinggir jalan, warung dan rumah kediaman warga.
Saat masih menjabat sebagai Wali Kota Solo (2005-2012), Jokowi memiliki jadwal blusukan tetap.
Ia berpapasan langsung dengan warga. Menyapa mereka, berdialog, memberi hadiah dan mendengar keluhan.
Sejak terpilih menduduki jabatan nomor satu di Indonesia, sejak 20 Oktober 2014 hingga sekarang, gaya blusukannya masih tetap dijalankan.
Ia masih saja betah untuk mencicipi jajanan pinggir jalan, duduk bersama ibu-ibu rumah tangga dan menyalami para fansnya.
Entah sebagai sebuah agenda politik atau sebagai sebuah karakter personal dari pemimpin, sejumlah tokoh besar dalam sejarah juga turut menjalankan metode blusukan.
Soekarno, Presiden pertama RI, sering menyeleweng dari protokol dan secara spontan terlibat dialog dengan rakyat.
Ali Sadikin, Gubernur ke-9 Jakarta, sering melakukan sidak langsung untuk memantau eksekusi kebijakannya dan bagaimana rakyat menanggapinya.
Hoegeng Imam Santoso, Kapolri Ke-5, dikisahkan pernah mengatur langsung parkiran para tukang becak agar terhindar dari kemacetan jalan.