Antara satu pihak dan pihak lain terjadi komunikasi yang setara dan komplementer. Yang satunya ingin didengarkan (rakyat), yang satunya ingin mendengarkan (pemimpin).
Konsep ini sejalan dengan apa yang diistilahkan oleh filsuf Heidegger sebagai “sorge”. Sorge berbicara tentang kesatuan perilaku manusia.
Dasar dari perilaku manusia yang sesungguhnya terwujud dalam keterlibatan secara proaktif terhadap objek-objek kesehariannya.
Subjek, dalam hal ini pemimpin, perlu terlibat secara giat dan tak terpisahkan dengan objek kesehariannya, termasuk rakyat. ‘Aku’ sang pemimpin tidak terpisah dari ke-‘aku’-an rakyat.
Sebaliknya, pemimpin yang otoriter mengadopsi konsep ke-‘Aku’-annya secara Cartesian. Aku terpisah dari yang lain, tidak melibatkan diri dengan yang lain dan bahkan menjadi yang terpenting dalam relasi.
Dalam konteks ini, ego ‘Aku’ dari pemimpin dilihat sebagai subjek utama yang terpisah dari ‘aku-aku’ yang lain. Ego sebagai kelas atas menafikan ego lain sebagai kelas bawah.
Kita boleh bersyukur bisa menikmati sebuah privilese maha jarang; dikunjungi dan ditemui secara langsung oleh pemimpin negara kita.
Sebagian lain, yang tersebar di sejumlah daerah di wilayah kepulauan RI, tidak bisa punya akses yang sama.
Barangkali mereka hadir dalam pemilu, turut memberikan suara, tapi tak sekalipun pernah bertatap muka langsung dengan pemimpin pilihannya sendiri. Sosok dan figur pemimpin yang dipilih tetap menjadi anonim dan impersonal.
Dengan adanya fenomena blusukan, kita tidak serta-merta menyimpulkannya sebagai sebuah gejala progresivitas politik.
Di satu sisi, kita turut berbangga bahwa pemimpin terjun langsung dalam masyarakat dan berdialog dari mata ke mata untuk melihat realitas sesungguhnya di balik statistic dan laporan lembaga-lembaga.
Sejalan dengan itu, menurut A.A Wattimena, politik blusukan sangat cocok bagi masyarakat demokratis karena di dalamnya rakyat menjadi prioritas utama yang perlu disapa secara langsung dan dimintai aspirasinya bukan melalui himpunan data-data statistik.
Terkadang, realitas konkret dan pengalaman langsung di lapangan berbicara jauh lebih banyak dan lebih substansial dibandingkan data survei di atas kertas.
Tapi di sisi lain, ia bisa bermanifestasi menjadi sebuah degradasi politik, sebab banyak pemimpin tampil ‘bertopengkan’ rakyat.
Di mata figur seperti ini, blusukan merupakan sebuah sinetron heroik yang sudah terlebih dulu disutradarai oleh kepentingan politik dan kekuasaan.
Alih-alih turun ke lapangan untuk membuat verifikasi terhadap setiap kebijakan yang dibuat, blusukan bisa saja merosot menjadi pencitraan.
Ibu-ibu pedagang di pasar yang seringkali terisak bahagia dan menyerukan nama saat berjumpa dengan Presiden di jalan perlu sedikit menanggalkan selaput emosional mereka dan mengenakan pola pikir kritis.
Boleh-boleh saja bereuforia saat orang nomor satu datang mengunjungi warga, tapi jangan sampai berubah menjadi idolatria atau pemujaan yang irasional.
Rakyat yang kritis adalah mereka yang mengapresiasi metode blusukan sekaligus tetap mengkawal produk-produk kebijakan publik.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.