Jokowi, seperti yang kita kenal, pernah masuk di gorong-gorong MH Thamrin untuk mengecek kondisinya saat musim hujan.
Bahkan Presiden Soeharto pernah memilih tidur di rumah warga saat mengecek program pembangunan yang ia motori.
Blusukan bukan hal yang baru. Metode ini sudah dijalankan bahkan sejak zaman kerajaan dulu.
Dalam catatan sejarah, Mangkunagoro VII sering menjalankan blusukan, hanya saja dengan istilah yang berbeda.
Di masanya, aktivitas turun ke tengah rakyat disebut sebagai ‘mider praja’. Ia sering berkeliling ke daerah-daerah sekitaran wilayah keraton untuk rehat sejenak dari kepungan dinding istana.
Visitasi Mangkunagoro, ibarat seorang titisan dari kayangan, selalu membawa berkat bagi orang-orang kecil.
Dalam kunjungan kecilnya, beliau pernah mengamati kondisi rakyat yang tidak punya WC rumah.
Rakyat masih menggunakan metode jumblengan; menggali tanah untuk buang air besar. Bertolak dari keprihatinannya, ia berinisiatif membangun “badpaals” atau jamban umum. Itu sebuah berkat yang luar biasa bagi rakyat yang membutuhkannya.
Berkat yang sama, tapi dalam bentuk yang berbeda, dirasakan pula oleh rakyat kota Ende, NTT.
Pada tanggal 1 Juni 2022, bertepatan dengan hari jadi Pancasila, Jokowi dan istrinya datang berkunjung dan menyelenggarakan apel bersama di lapangan Pancasila.
Di sela-sela hajatan besar itu, menjelang malam sejak Jokowi datang ke hotel penginapan, ia mengunjungi rumah-rumah warga sekitar.
Tak tanggung-tanggung, beliau bahkan masuk secara tiba-tiba ke beberapa rumah warga yang sangat sederhana.
Kunjungan spontan itu disertai dengan pembagian hadiah atau bingkisan atau bahkan sejumlah uang tunai.
Gaya blusukan menghapuskan hukum tak tertulis yang membatasi relasi antarkelas. Relasi antara mereka yang berasal dari kelas atas dengan kelas bawah tidak lagi dianggap sebagai sebuah tabu.
Keduanya bisa berjumpa secara langsung di jalanan, di pasar, di toko, bahkan di rumah. Dengan demikian, kedua kelas yang dulunya dipisahkan secara radikal kini bergaul secara lazim.
Dengan kata lain, politik blusukan sebenarnya adalah politik tanpa batas (kelas sosial).
Masyarakat kelas bawah sudah lama mengimani kredo ‘ketakutan hierarkis’.
Ketakutan ini bersumber dari keyakinan bahwa kaum mereka tidak diizinkan dan tidak pantas berinteraksi dengan golongan atas.
Struktur hierarkis yang demikian membatasi pergaulan mereka hanya dengan sesama yang miskin dan tak berdaya.
Jika pun sebuah kondisi memberi akses orang kelas bawah untuk berinteraksi dengan golongan atas, relasi itu hanya bersifat eksploitatif belaka; antara tuan dan hamba.
Relasi eksploitatif selanjutnya melahirkan sebuah ketundukan. Atas kuasa yang dimiliki, golongan atas boleh mempekerjakan dan memanfaatkan orang miskin dengan imbalan yang tidak kenal kata keadilan.
Sebagai satu-satunya tanggapan, karena tidak punya kuasa, orang miskin mau saja dipekerjakan karena tidak lagi punya pilihan lain.
Gaya politik blusukan, terlepas dari motivasi pencitraan politik, memotong batasan strata sosial dan mengubah relasi eksploitatif menjadi relasi yang subjektif.