JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas) mengusulkan agar aturan tentang pemantauan dan pengawasan yang bersifat independen dicantumkan dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).
"Rekomendasi Komnas perempuan tentang pentingnya pengaturan pemantauan dan pengawasan dalam RUU tindak pidana kekerasan seksual, yang saat ini belum diakomodasi," kata Komisioner Komnas Perempuan Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi dalam konferensi pers secara virtual, Selasa (29/3/2022).
Siti mengatakan, pemantauan dan pengawasan yang bersifat independen itu bisa dilakukan oleh lembaga nasional terkait hak asasi manusia (HAM) di antaranya yaitu, Komnas HAM, Komnas Perempuan, Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Komisi Nasional Disabilitas (KND).
Baca juga: Panja RUU TPKS Rapat Intensif Bahas 300 Daftar Inventaris Masalah
"Serta lembaga pengawas internal di dalam sistem peradilan pidana, seperti Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial untuk konteks pelayanan publik," ujarnya.
Siti mengatakan, tujuan dari usulan aturan pemantauan dan pengawasan independen tersebut adalah agar terdapat check and balance dalam sistem ketatanegaraan dan pemantauan oleh lembaga pengawas eksternal.
Ia mengatakan, jika ketentuan tersebut tidak dicantumkan dalam RUU TPKS, pemerintah akan kehilangan ruang dan kesempatan untuk mengoptimalkan pelaksanaan dari RUU tersebut.
"Dengan demikian berarti kita kehilangan kesempatan untuk memperbaiki atau mengoreksi hal-hal yang perlu ditindak lanjuti atau diperbaiki lebih lanjut," ucapnya.
Lebih lanjut, Siti menambahkan, apabila ketentuan pemantau dan pengawasan tersebut masuk dalam RUU TPKS, pemerintah tidak perlu membentuk lembaga independen baru.
Sebab, lembaga-lembaga nasional HAM memiliki modalitas untuk melakukan pemantauan.
"Karena sudah ada lembaga-lembaga yang memiliki modalitas untuk melakukan pengawasan dan kita pemantauan," pungkasnya.
Sebelumnya diberitakan, Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (Baleg DPR) Senin (28/3/2022), membahas Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU TPKS.
Pembahasan DIM RUU TPKS dipimpin oleh Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU TPKS Willy Aditya dan dihadiri oleh Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej serta Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati.
Menurut Edward, saat ini pemerintah membahas 332 DIM substansi dan substansi baru dalam RUU TPKS.
Edward mengatakan, titik berat pembahasan DIM RUU TPKS adalah soal hukum acara penanganan kasus kekerasan seksual.
"Menurut laporan Komnas HAM dan KPAI ada 6000 kasus kekerasan seksual, tapi yang sampai pengadilan 300 kasus. Artinya yang masuk persidangan kurang dari 5 persen," kata Edward dalam rapat dengan Panja RUU TPKS di Gedung DPR, Jakarta.
Baca juga: Pembahasan RUU TPKS Butuh Keleluasaan Waktu dan Kehati-hatian
"Ada yang salah dengan hukum acara. Makanya kami memberikan stressing (penekanan) mengenai hukum acara," kata Edward.
Menurut Edward, pembahasan DIM RUU TPKS itu disusun supaya tidak tumpang tindih dengan undang-undang lain yang sudah berlaku.
"Karena ketika membuat DIM kita menyandingkan dengan undang-undang yang eksisting (sudah berlaku) seperti undang-undang tindak kekerasan dalam rumah tangga, undang-undang perlindungan anak, undang-undang pengadilan HAM, undang-undang perlindungan saksi dan korban," ujar Edward.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.