KOMPAS.com - Lex specialis derogat lex generalis merupakan sebuah asas hukum di mana peraturan yang bersifat khusus dapat menyampingkan peraturan yang bersifat umum.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitui Jimly Asshidique menjelaskan, dalam asas ini, norma hukum yang bersifat khusus dapat mengabaikan norma hukum yang bersifat umum
Lex specialis derogat lex generalis dapat digunakan dalam menyelesaikan konflik norma yang terjadi. Asas ini penting bagi penegak hukum untuk menerapkan aturan yang paling tepat dalam penyelesaian konflik antara sesama peraturan perundang-undangan.
Dalam Pasal 63 Ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) berbunyi “Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.”
Baca juga: Yasonna: KUHP Warisan Kolonial Banyak Menyimpang dari Asas Hukum Pidana Umum
Menurut mantan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan, ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam penerapan lex specialis derogat lex generalis, yakni:
Contoh kasus penerapan lex specialis derogat lex generalis, yakni kasus pencurian telepon selular oleh anak berusia 15 tahun.
Dalam UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 tahun, tapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
Pencurian sendiri merupakan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 362 sampai 367 KUHP tergantung cara pencurian dilakukan. Dalam kasus ini, anak tersebut terancam akan dikenakan Pasal 362 KUHP.
Pasal 362 berbunyi, “Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”
Namun, dalam kasus ini, anak tersebut akan dikenakan UU Sistem Peradilan Anak karena masih berusia 15 tahun. UU Sistem Peradilan Anak sebagai lex specialis akan digunakan menyampingkan KUHP yang merupakan lex generalis.
Dalam UU ini, proses penyidikan, penuntutan pidana serta persidangan anak wajib dilakukan melalui tindakan diversi dengan pendekatan keadilan restoratif.
Diversi merupakan pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Diversi dapat dilaksanakan dalam pidana yang diancam dengan hukuman penjara di bawah tujuh tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Diversi sendiri dapat berbentuk perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian, penyerahan kembali kepada orang tua/wali, keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama tiga bulan, atau pelayanan masyarakat.
Referensi: