Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tanggapi BKN, Ombudsman: LAHP soal TWK Bukan Dijawab dengan Dokumen, tetapi Dijalankan

Kompas.com - 05/08/2021, 12:33 WIB
Tsarina Maharani,
Krisiandi

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Ombudsman RI (ORI) Robert Na Endi Jaweng menanggapi rencana Badan Kepegawaian Negara (BKN) yang tengah menyiapkan argumentasi hukum untuk menjawab putusan ORI terkait pelaksanaan tes wawasan kebangsaan (TWK).

Robert mengatakan, masukan ORI berupa laporan akhir hasil pemeriksaan (LAHP) itu semestinya langsung ditindaklanjuti, bukan malah dibalas dengan produk dokumen yang setara.

"Enggak ada balas-membalas bahan. LHAP tak mungkin dibalas LHAP atau apa pun itu dari mereka. Namun, saya anggap itu bagian dari komunikasi antar-lembaga saja, bukan produk formal dari mereka. Sebab, produk Ombudsman tidak bisa dijawab dengan produk dokumen setara, tetapi dijalankan," kata Robert dikutip dari Kompas.id, Kamis (5/8/2021).

Baca juga: Firli Didesak Segera Laksanakan Tindakan Korektif atas Malaadministrasi TWK

Dia menegaskan, LAHP yang berisi tindakan korektif ataupun rekomendasi ORI adalah produk dari lembaga negara yang wajib ditaati terlapor.

Jika terlapor tidak mematuhi LAHP dan rekomendasi, artinya tidak patuh hukum.

Seorang pejabat yang tak patuh hukum, kata Robert, melanggar sumpah jabatan dan berimplikasi hukum. Menurut UU ORI, pejabat bisa terkena sanksi administratif.

"Namun, kami belum sampai ke tahap (pengenaan sanksi) tersebut. Hari ini, kami berada di saran perbaikan dan tindakan korektif untuk dipatuhi. Fokus kami adalah pada dijalankannya tindakan korektif, bukan soal sanksi," ucapnya.

Diberitakan, Pelaksana Tugas Kepala BKN Bima Haria Wibisana mengatakan, masukan ORI terkait pelaksanaan TWK sebagai syarat alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN) itu tidak final dan mengikat.

Karena itu, BKN tengah menyiapkan argumentasi hukum untuk dikirimkan ke ORI.

"Sedang dibuat argumentasi hukum yang kuat untuk melawan keputusan Ombudsman," ujar Bima.

Saat ini, pihaknya masih menyusun jawaban atas masukan ORI tersebut bersama dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manuisa serta Kejaksaan Agung.

Bima berpendapat, ada kesalahan logika hukum dari hasil temuan ORI. Seharusnya, jika TWK itu dianggap oleh ORI sebagai malaadministrasi, semua pegawai dinyatakan tidak memenuhi syarat atau dibatalkan.

"Bukan yang TMS (tidak memenuhi syarat) malah jadi MS (memenuhi syarat). Logika hukumnya kacau," tuturnya.

Baca juga: BKN Siapkan Argumentasi Hukum Lawan Putusan Ombudsman soal TWK

Menurut dia, ORI sama sekali tidak mempunyai kewenangan untuk memberikan sanksi. Sesuai peraturan perundang-undangan, pemberian sanksi oleh Presiden, bukan dari ORI.

Lagi pula, kementerian dan lembaga, seperti KPK, BKN, Lembaga Administrasi Negara (LAN), dan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), berada di bawah Presiden.

"Bukan di bawah ORI. Ya, manut-nya (patuhnya) sama Presiden bukan sama ORI. ORI sendiri tak punya kewenangan. ORI minta Presiden memberi sanksi. Jadi, semua terserah Presiden," ujar Bima.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah, Minta PBB Bertindak

Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah, Minta PBB Bertindak

Nasional
Ganjar dan Anies Pilih Oposisi, Akankah PDI-P Menyusul?

Ganjar dan Anies Pilih Oposisi, Akankah PDI-P Menyusul?

Nasional
Kata Gibran soal Urgensi Adanya Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis

Kata Gibran soal Urgensi Adanya Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis

Nasional
Riwayat Gus Muhdlor: Hilang Saat OTT, Beralih Dukung Prabowo, Akhirnya Tetap Ditahan KPK

Riwayat Gus Muhdlor: Hilang Saat OTT, Beralih Dukung Prabowo, Akhirnya Tetap Ditahan KPK

Nasional
Cek Hotel dan Bus Jemaah Haji, Menag: Semua Baik

Cek Hotel dan Bus Jemaah Haji, Menag: Semua Baik

Nasional
Menerka Peluang Anies dan Ahok Berduet pada Pilkada DKI Jakarta

Menerka Peluang Anies dan Ahok Berduet pada Pilkada DKI Jakarta

Nasional
Gibran Sebut Ada Pembahasan soal Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis, tapi Belum Final

Gibran Sebut Ada Pembahasan soal Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis, tapi Belum Final

Nasional
Pengamat: Jangankan 41, Jadi 100 Kementerian Pun Tak Masalah asal Sesuai Kebutuhan

Pengamat: Jangankan 41, Jadi 100 Kementerian Pun Tak Masalah asal Sesuai Kebutuhan

Nasional
Utak-atik Strategi Jokowi dan Gibran Pilih Partai Politik, PSI Pasti Dicoret

Utak-atik Strategi Jokowi dan Gibran Pilih Partai Politik, PSI Pasti Dicoret

Nasional
Gibran Lebih Punya 'Bargaining' Gabung Partai Usai Dilantik Jadi Wapres

Gibran Lebih Punya "Bargaining" Gabung Partai Usai Dilantik Jadi Wapres

Nasional
Wacana Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Politis dan Boroskan Uang Negara

Wacana Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Politis dan Boroskan Uang Negara

Nasional
'Golkar Partai Besar, Tidak Bisa Diobok-obok Gibran'

"Golkar Partai Besar, Tidak Bisa Diobok-obok Gibran"

Nasional
Prabowo Ingin Tambah Menteri, Wapres Ma'ruf Amin Ingatkan Pilih yang Profesional

Prabowo Ingin Tambah Menteri, Wapres Ma'ruf Amin Ingatkan Pilih yang Profesional

Nasional
[POPULER NASIONAL] Jokowi Berkelakar Ditanya soal Pindah Parpol | PDI-P Beri Sinyal di Luar Pemerintahan

[POPULER NASIONAL] Jokowi Berkelakar Ditanya soal Pindah Parpol | PDI-P Beri Sinyal di Luar Pemerintahan

Nasional
Prabowo Diharap Tetapkan 2 Syarat Utama Sebelum Tambah Kementerian

Prabowo Diharap Tetapkan 2 Syarat Utama Sebelum Tambah Kementerian

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com