JAKARTA, KOMPAS.com - Koordinator Program Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan Arieska Kurniawaty berpendapat Omnibus Law RUU Cipta Kerja akan merampas kedaulatann rakyat, khususnya bagi perempuan.
Setidaknya, Solidaritas Perempuan memiliki lima catatan ancaman yang dapat terjadi dengan adanya Omnibus law.
Pertama, RUU Cipta Kerja ini dinilai jadi langkah mundur dari komitmen pemerintah untuk memastikan analisis gender dalam perlindungan lingkungan melalui Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
"Jadi Menteri Lingkungan Hidup pernah membuat komitmen yang dituangkan dalam peraturan menteri dan secara jelas menyebut perempuan sebagai salah satu kelompok kepentingan yang harus dilibatkan dalam konsultasi AMDAL dan KLHS, itu dianulir sendiri oleh pemerintah melalui regulasi ini," ujar Arieska dalam konferensi pers, Senin (5/10/2020).
Baca juga: Mengenal Apa Itu Omnibus Law RUU Cipta Kerja dan Isi Lengkapnya
Ancaman kedua, yakni Omnibus Law yang menjamin kemudahan investasi termasuk dalam kepemilikan dan penguasaan tanah dinilai akan menggusur keberadaan rakyat.
Situasi itu, akan lebih sulit bagi perempuan karena akan memperlebar dan memperdalam ketimpangan yang sudah dialami oleh perempuan.
"Kami mencatat di tahun 2019 cuma sebanyak 24,2 persen bukti kepemilikan tanah yang atas nama perempuan," ujar Arieska.
"Budaya patriarki jadi hambatan yang paling signifikan bagi perempuan untuk bisa punya akses dan kontrol atas tanah," lanjut dia.
Arieska menyebut, Hal ini pun dapat berpotensi untuk memperdalam dan memperluas konflik agraria. Pada saat konflik agraria terjadi, perempuan biasanya mengalami intimidasi dan kekerasan yang berlapis.
Baca juga: Jejak Omnibus Law: Dari Pidato Pelantikan Jokowi hingga Polemik RUU Cipta Kerja
"Beberapa bulan lalu perempuan Adat Pubabu diancam dan dikriminalisasi karena melakukan aksi buka baju saat berhadapan dengan aparat keamanan," ucap Areiska.
Ancaman ketiga, yakni terkait kedaulatan pangan. Salah satunya karena ada ketentuan yang menyamakan antara kedudukan produksi pangan dalam negeri dan cadangan pangan nasional dengan impor pangan sebagai sumber penyediaan pangan.
"Pasar domestik kita itu bisa dibanjiri dengan pangan impor. Sementara di sisi lain subsidi untuk petani, subsidi nelayan itu terus dicabut karena pemerintah kita rajin sekali menandatangani perjanjian internasional," ujar Areiska.
Keempat, Solidaritas Perempuan menilai, Omnibus Law RUU Cipta Kerja memperburuk perlindungan hak perempuan buruh dengan tidak adanya cuti karena haid atau karena keguguran.
Sebab, dalam RUU Cipta Kerja hanya menyebutkan cuti tahunan dan cuti panjang lainnya yang diatur dalam perjanjian kerja.
Baca juga: #BatalkanOmnibusLaw Trending, Ini Sederet Alasan Penolakan RUU Cipta Kerja
Poin yang kelima, yakni dengan masifnya perampasan lahan dan sulitnya lapangan pekerjaan, hak-hak buruh yang semakin dipangkas akan mendorong migrasi tenaga kerja.
Akibatnya, banyak perempuan menjadi buruh migran dan bermigrasi untuk bekerja sebagai pekerja rumah tangga.
Berdasarkan kasus yang ditangani Solidaritas Perempuan, Perempuan yang buruh migran terus mengalami kekerasan dan pelanggaran hak yang berlapis.
"Karena tidak adanya atau minimnya perlindungan negara," tutur Arieska.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.