JAKARTA, KOMPAS.com - Pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin perihal tragedi Semanggi I dan Semanggi II beberapa waktu lalu memicu kritik keras dari sejumlah pihak.
Burhanuddin mengatakan, peristiwa Semanggi I dan Semanggi II bukan merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Dia merujuk kepada hasil rapat paripurna DPR RI yang menyebut bahwa kedua peristiwa tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat.
Namun, saat mengutip hasil rapat itu, dia tidak menjelaskan secara rinci kapan rapat dilaksanakan.
Berdasarkan penelusuran Kompas.com, DPR periode 1999-2004 pernah merekomendasikan Peristiwa Semanggi I dan II tidak termasuk dalam kategori pelanggaran berat HAM.
Rekomendasi itu berbeda dengan hasil penyelidikan KPP HAM Tragedi Trisakti, Semanggi I, dan II yang menyatakan sebaliknya.
Sementara itu, berdasarkan tulisan berjudul "Wawan, Tragedi demi Tragedi" oleh Arief Priyadi dalam buku "Saatnya Korban Bicara, Menata Derap Merajut Langkah" pada 15 Januari 2001, DPR menerbitkan keputusan tentang pembentukan Pansus DPR mengenai kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi I (TSS).
Baca juga: Hari-Hari Terakhir Yun Hap, Mahasiswa UI Korban Tragedi Semanggi II
Adapun Arief Priyadi merupakan ayah dari Bernardinus Realino Norma Irmawan atau Wawan, korban penembakan saat Tragedi Semanggi I pada 11-13 November 1998.
Berdasarkan tulisan Arief, pansus tersebut beranggotakan 50 orang dari 10 Fraksi, dengan tugas memantau proses penyelesaian kasus Trisakti serta Kasus Semanggi I dan II.
"Hasil kerja pansus adalah 'rekomendasi' yang kemudian dilaporkan kepada Badan Musyawarah (Bamus) DPR. Rekomendasi Ini dicapai melalui voting pada 27 Juni 2001," tulis Arief.
Menurut daftar hadir, anggota pansus yang hadir saat itu sebanyak 26 orang.
Akan tetapi, pada saat voting berlangsung, yang hadir hanya 19 orang.
Hasil votingnya, sebanyak 14 suara setuju merekomendasikan penyelesaian peristiwa TSS melalui peradilan umum/militer.
Alasannya, tragedi TSS dinilai bukan pelanggaran HAM berat.