JAKARTA, KOMPAS.com - Majelis Halim Mahkamah Konstitusi (MK) meminta Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) mempertegas perihal diskriminasi dalam pengajuan uji materi UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada.
Dalam agenda sidang pendahulan pertama di MK, Rabu (20/11/2019), Ketua Majelis Hakim Enny Nurbaningsih menyarankan pemohon untuk mempertegas ihwal "diskriminasi" dalam gugatan yang diajukan pemohon.
Sebagai pemohon, keduanya meminta MK membatalkan frasa "sudah/pernah kawin" sebagai salah satu syarat sebagai seorang pemilih, di luar kepemilikan KTP elektronik (e-KTP).
Baca juga: Kemendagri Nilai Revisi UU Pilkada Harus Bersamaan dengan UU Pemilu
Frasa tersebut tercantum dalam Pasal 1 angka 6 UU Pilkada.
"Poin yang dinasihatkan oleh MK itu agar mampu menegaskan soal diskriminasi sebagai sesuatu yang beralaskan hukum dengan membangun argumentasi yang lebih komprehensif dalam konteks perlakuan diskriminatif," ujar Sekretaris Jenderal KPI, Dian Kartikasari di Gedung MK, Rabu (20/11/2019).
Dian mengatakan, perbaikan permohonan akan menjadi skala prioritas guna memenuhi target menarik aturan pembatasan usia pemilih.
Diakuinya, definisi diskriminasi memang tidak disebutkan dalam UU Hak Asasi Manusia (HAM).
Baca juga: Gugat UU Pilkada, Perludem Minta MK Hilangkan Status Kawin sebagai Syarat Pemilih
Namun definisi diskriminasi di Indonesia sudah diratifikasi atau pengesahan terhadap konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita.
Di mana pada pasal 1 menyebutkan salah satu bentuk diskriminasi adalah status perkawinan, orientasi seksual, hingga status sosial.
Di sisi lain, mereka yang melakukan perkawinan di bawah batas usia juga kesulitan mendapat akses informasi tentang kepemiluan.
Baca juga: Faldo Maldini Minta MK Prioritaskan Gugatan Uji Materi UU Pilkada
Menurutnya, mereka memiliki akses ke publik cukup kecil lantaran adanya faktor yang berwenang mendapat akses informasi hanyalah orang dewasa.
"Sementara mereka digolongkannya kan susah. Secara fisik dia masih anak anak, sementara secara usia dia sudah orang tua," katanya.
Dengan situasi tersebut, kata Dian, mereka pun tertolak di mana-mana yang pada akhirnya tidak mendapatkan informasi kepemiluan.
Dian menambahkan, sebetulnya, mereka sendiri terbebani karena imbas praktek perkawinan anak.
Baca juga: Komisi II DPR Sebut Tak Ada Waktu Lagi untuk Revisi UU Pilkada
Menurutnya, mereka menghadapi beban psikologis untuk menyesuikan dengan dewasa.
Setelah menghadapi beban itu, lanjut Dian, mereka dipaksa untuk menghadapi pilihan politik.
Hal itu pun dikhawatirkan akan menimbulkan kompleksitas terhadap mereka.
"Apabila kompleksitas itu diabaikan, dia akan dimobilisasi oleh partai politik," terang dia.
"Kalau ini dilanggengkan maka praktek perkawinan anak akan terus dilanggengkan oleh partai politik karena mereka memobilisasi anak-anak untuk menjadi pemilih buta. Itu akan menjadi blunder," tambah Dian.