JAKARTA, KOMPAS.com - Komisioner Komnas HAM Choirul Anam menilai bahwa pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin dalam rapat kerja dengan Komisi III, menunjukkan lemahnya komitmen Presiden Joko Widodo dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
"Pernyataan Jaksa Agung yang baru saja dipilih menunjukkan rendahnya komitmen Presiden Jokowi dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang berat," ujar Anam kepada Kompas.com, Kamis (7/11/2019).
Baca juga: Jaksa Agung Usulkan Perubahan Regulasi Penyelesaian Kasus HAM Berat
Menurut Anam, Burhanuddin tidak memahami besarnya kewenangan yang dimiliki Kejaksaan Agung dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat.
Kewenangan tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Anam mengatakan, sebagai penyidik, Jaksa Agung dapat berbuat banyak dalam menyempurnakan berkas perkara.
Bahkan, Jaksa Agung memiliki kewenangan untuk menahan terduga pelaku.
Baca juga: Jaksa Agung Ingin Selesaikan Kasus HAM, Komnas HAM: Langsung Saja Buat Tim
"Padahal sangat jelas, Presiden memiliki kesempatan untuk memperbaikinya dengan menunjuk Jaksa Agung yang paham dan ingin melakukan penyelesaian pelanggaran HAM yang berat," kata Anam.
Sebelumnya, Jaksa Agung ST Burhanuddin mengungkapkan bahwa terdapat 12 kasus pelanggaran HAM berat yang belum diselesaikan karena syarat formil dan materil berkas penyelidikan kasus pelanggaran berat HAM oleh Komnas HAM belum lengkap.
Hal ini membuat pihak Kejaksaan Agung tidak dapat melanjutkan tahap penyidikan dan penuntutan.
Namun Burhanuddin tidak menyebutkan secara spesifik syarat formil dan materil apa saja yang belum dilengkapi oleh Komnas HAM.
Baca juga: Mahfud MD: Penyelesaian Kasus HAM Masa Lalu demi Kepentingan Negara
"Sebanyak 12 perkara hasil penyelidikan Komnas HAM telah dipelajari dan diteliti, hasilnya baik persyaratan formil, materiil, belum memenuhi secara lengkap," ujar Burhanuddin dalam Rapat Kerja dengan Komisi III di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (7/11/2019).
Dari 12 perkara, sebanyak 8 kasus terjadi sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
kedelapan kasus tersebut adalah Peristiwa 1965, peristiwa Penembakan Misterius (Petrus), Peristiwa Trisaksi, Semanggi I dan Semanggi II tahun 1998, peristiwa Penculikan dan Penghilangan Orang Secara Paksa, Peristiwa Talangsari, Peristiwa Simpang KKA, Oeristiwa Rumah Gedong tahun 1989, Peristiwa dukun santet, ninja dan orang gila di Banyuwangi tahun 1998.
Baca juga: Di Komisi III, Jaksa Agung Sebut Berkas Penyelidikan Kasus HAM Berat Belum Lengkap
Sedangkan empat kasus lainnya yang terjadi sebelum terbitnya UU Pengadilan HAM, yakni peristiwa Wasior, Wamena dan Paniai di Papua serta peristiwa Jambo Keupok di Aceh.
Tiga kasus lain yang sudah selesai yakni kasus Timor Timur tahun 1999, kasus Tanjung Priok 1984 dan peristiwa Abepura 2000.