JAKARTA, KOMPAS.com - Pada akhir 2008, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menerbitkan buku "Papua Road Map" sebagai hasil penelitian pemetaan masalah utama di Papua.
Dalam penelitiannya, LIPI menyebut persoalan marjinalisasi, diskriminasi, dan pelanggaran HAM sebagai bagian dari banyak isu utama di Papua.
Marjinalisasi dan diskriminasi dialami orang asli Papua, baik secara politik, ekonomi, maupun sosial-budaya.
Sedangkan, sampai hari ini belum ada masalah pelanggaran HAM yang diselesaikan secara adil, termasuk juga belum berhasil diputusnya siklus kekerasan di Papua yang dilakukan negara.
Baca juga: Menhan: Dari Dulu Saya Bilang, TNI-Polri Tak Akan Ditarik dari Papua
Politisi PDI-P Budiman Sudjatmiko dan jurnalis sekaligus aktivis HAM Dandhy Laksono memiliki persamaan pandangan terkait pendekatan yang harus dilakukan pemerintah dalam mengatasi kekerasan di Papua.
Keduanya sepakat bahwa pendekatan militerisme justru mengeskalasi kekerasan di Papua. Padahal, dialog damai yang berpijak pada kemanusiaan sangat dibutuhkan.
"Saya tidak setuju dengan pendekatan militerisme dan itu jelas bahwa kita harus mengurangi kekerasan fisik dan ide (kebebasan berpendapat)," ujar Budiman dalam sebuah acara debat di auditorium Visinema, Jakarta Selatan, Sabtu (21/9/2019).
Budiman berpendapat, pendekatan damai sangat dibutuhkan oleh masyarakat Papua saat ini.
Baca juga: Keterbukaan Informasi Dinilai Jadi Langkah Awal Mengatasi Gejolak di Papua
Isu kekerasan, pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan eksploitasi sumber daya alam telah menjadi masalah di Papua selama puluhan tahun.
Pemerintah, kata Budiman, harus bisa mengembalikan Papua ke dalam kondisi naturalnya dan menghormati hak-hak warga Papua sebagai penduduk asli (indigenous people).
"Harus ada pendekatan damai terhadap Papua. Dan ditarik kehadiran militer, kepolisian harus tetap ada untuk alasan keamanan," tutur dia.
Sementara itu, Dandhy menyoroti soal pembebasan Papua dari kekuasaan militer atau demiliterisasi.
Ia berpendapat, warga Papua harus mendapatkan kembali ruang hidupnya tanpa kekerasan.
Menurut Dandhy, keberadaan aparat militer justru membatasi ruang gerak warga Papua dalam menyatakan pendapatnya.
"Yang penting sekarang adalah demiliterisasi. Mau cara apapun, konsep apapun, kalau 6.000 orang (militer) di-deploy ke sana, ya habis cerita. Jadi demiliterisasi itu wajib dilakukan dan mendesak," kata Dandhy.