Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jaksa Yakin Tak Ada Kekhilafan Hakim dalam Putusan Setya Novanto

Kompas.com - 10/09/2019, 16:37 WIB
Dylan Aprialdo Rachman,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meyakini tak ada kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata dalam putusan majelis hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, terhadap terpidana kasus korupsi Setya Novanto.

Hal itu diutarakan jaksa KPK Ahmad Burhanuddin saat membacakan kesimpulan tanggapan KPK atas permohonan Peninjauan Kembali (PK) Setya Novanto di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (10/9/2019).

"Penjatuhan hukuman pada Pemohon PK sebagaimana amar putusan adalah tidak mengandung kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata," kata jaksa Burhanuddin.

Baca juga: Anggap Novum Setya Novanto Tak Layak, Jaksa Minta Hakim Tolak PK

Pada putusan itu, Novanto dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik atau e-KTP.

Ia dijatuhi hukuman 15 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan.

Ia juga diwajibkan membayar uang pengganti 7,3 juta dollar AS dikurangi Rp 5 miliar yang telah dititipkan kepada penyidik.

Baca juga: Jaksa Nilai 5 Poin Permohonan PK Setya Novanto Tak Dapat Disebut Novum

Menurut jaksa, pertimbangan hukum majelis hakim pada tingkat pertama itu berdasarkan alat-alat bukti yang cukup dan fakta-fakta yang terungkap di persidangan lewat keterangan para saksi yang saling melengkapi.

"Bahwa terkait pembuktian pasal-pasal dalam dakwaan penuntut umum, surat tuntutan penuntut umum dan maupun majelis hakim telah yakin bahwa perbuatan yang dilakukan Pemohon PK adalah melanggar Pasal 3 (UU Tipikor) juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana," kata dia.

Baca juga: Tanggapi Permohonan PK Novanto, Jaksa Singgung Sumpah di Pengadilan

Jaksa juga menilai lima poin yang dianggap pihak Novanto sebagai keadaan baru atau novum itu tak layak dikualifikasikan sebagai novum.

"Kami berkesimpulan, alasan-alasan Pemohon PK yang diajukan tidak memenuhi ketentuan Pasal 263 Ayat 2 KUHAP dan seterusnya, seharusnya ditolak dan tidak dapat diterima. Karena telah ditegaskan oleh judex factie secara seksama sehingga tidak ditemukan adanya novum, kekhilafan hakim atau sesuatu kekeliruan yang nyata dalam putusan," ujarnya.

Dengan demikian, jaksa KPK memohon kepada majelis hakim PK pada Mahkamah Agung (MA) agar menolak seluruh permohonan PK Setya Novanto dan menguatkan putusan majelis hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.

Kompas TV Terpidana kasus KTP Elektronik yang juga mantan politisi Partai Golkar Setya Novanto mengajukan peninjauan kembali atau PK atas kasus yang menjeratnya. Setnov meminta hakim agar memutus bebas dirinya dari segala jeratan hukum. Terpidana kasus korupsi KTP Elektronik Setya Novanto menjalani sidang peninjauan kembali di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Melalui kuasa hukumnya Setya Novanto mengajukan lima Novum atau bukti baru kepada majelis hakim. Pengacara Novanto berharap bukti baru ini bisa menjadi pertimbangan hakim untuk selanjutnya menyatakan putusan pengadilan atas Setnov keliru. #SetyaNovanto #KTPElektronik #EKTP
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Gerindra Pastikan Tetap Terbuka untuk Kritik

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Gerindra Pastikan Tetap Terbuka untuk Kritik

Nasional
Kabinet Prabowo: Antara Pemerintahan Kuat dan Efektif

Kabinet Prabowo: Antara Pemerintahan Kuat dan Efektif

Nasional
Gerindra Jelaskan Maksud Prabowo Sebut Jangan Ganggu jika Tak Mau Kerja Sama

Gerindra Jelaskan Maksud Prabowo Sebut Jangan Ganggu jika Tak Mau Kerja Sama

Nasional
[POPULER NASIONAL] Prabowo Minta yang Tak Mau Kerja Sama Jangan Ganggu | Yusril Sebut Ide Tambah Kementerian Bukan Bagi-bagi Kekuasaan

[POPULER NASIONAL] Prabowo Minta yang Tak Mau Kerja Sama Jangan Ganggu | Yusril Sebut Ide Tambah Kementerian Bukan Bagi-bagi Kekuasaan

Nasional
Tanggal 13 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 13 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Nasional
Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Nasional
Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Nasional
Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Nasional
Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Nasional
Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Nasional
7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

Nasional
Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Nasional
Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Nasional
Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com