JAKARTA, KOMPAS.com - Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai terpidana kasus korupsi Setya Novanto seperti mempermainkan sumpahnya ketika bersaksi untuk sejumlah terdakwa kasus korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik atau e-KTP.
Hal itu dipaparkan jaksa KPK Ahmad Burhanuddin saat membacakan tanggapan KPK atas permohonan Peninjauan Kembali (PK) Novanto di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (10/9/2019).
"Izinkan Termohon PK mengingatkan kembali tentang Pemohon PK ketika menjadi saksi dalam perkara e-KTP dalam perkara atas nama Irman, Sugiharto dan Andi Agustinus alias Andi Narogong di bawah sumpah secara Islam menyatakan tidak pernah membicarakan tentang masalah e-KTP," kata jaksa Burhanuddin.
Baca juga: KPK Akan Tanggapi Permohonan PK Setya Novanto di Pengadilan
Bahkan, kata jaksa Burhanuddin, dalam sidang perkara terdakwa Andi Narogong, Setya Novanto yang telah disumpah secara Islam mengaku tak pernah bertemu dengan Direktur Biomorf Lone LLC, Johannes Marliem.
"Apakah kita akan melupakan itu semua? Fakta mana yang akan menjadi kebenaran? Dalam balutan sumpah persidangan pun Pemohon PK menyangkal semua keterlibatannya. Di mana Pemohon PK mampu untuk mengatakan hal yang tidak sebenarnya. Oleh karenanya, sumpah di pengadilan seperti hal yang dapat dipermainkan," kata jaksa Burhanuddin.
Dalam permohonan PK, penasihat hukum Novanto, Maqdir Ismail menyampaikan ada 5 keadaan baru atau novum yang menjadi salah satu pertimbangan Novanto mengajukan PK.
Baca juga: KPK Siap Hadapi PK yang Diajukan Setya Novanto dalam Kasus E-KTP
Yaitu, tiga surat permohonan sebagai justice collaborator dari keponakan Novanto bernama Irvanto Hendra Pambudi Cahyo. Ketiga surat itu, menurut Maqdir, tidak ada fakta bahwa Novanto menerima uang terkait pengadaan kartu tanda penduduk berbasis elektronik atau e-KTP.
Novum keempat adalah rekening koran Bank OCBC Singapura North Branch nomor 503-146516-301 periode tanggal 1 Januari 2014 sampai 31 Januari 2014 atas nama Multicom Investment, Pte, Ltd, perusahaan milik Anang Sugiana Sudihardjo.
Kemudian, novum kelima merupakan keterangan tertulis agen Biro Federal Investigasi AS, Jonathan Holden tanggal 9 November 2017 dalam perkara United States of America melawan 1485 Green Trees Road, Orono, Minnesota dan kawan-kawan.
Dalam dokumen PK setebal 180 halaman itu, Maqdir bersama tim penasihat hukumnya juga menilai putusan terhadap kliennya terkesan bertentangan dengan putusan sejumlah terdakwa kasus korupsi e-KTP sebelumnya.
Baca juga: Novanto Tak Ajukan Banding, Jaksa Duga Hindari Tambahan Hukuman
Beberapa yang disoroti penasihat hukum adalah pertentangan pertimbangan soal jumlah dan penerima fee; penerimaan jam tangan merek Richard Millie; jumlah fee yang diterima Novanto dari pengusaha Made Oka Masagung; pihak yang menyerahkan uang ke KPK; dan kualifikasi kawan peserta dalam penyertaan Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Tim penasihat hukum juga menilai ada kekhilafan hakim dan atau kekeliruan yang nyata. Setidaknya Maqdir memaparkan ada 19 poin terkait hal tersebut.
Misalnya menyangkut adanya kekhilafan hakim dalam mempertimbangkan dakwaan dan menyusun putusan; terkait kesepakatan pemberian fee; rapat kerja Komisi II DPR dengan Kementerian Dalam Negeri dan persetujuan anggaran e-KTP Tahun 2011.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.