JAKARTA, KOMPAS.com — Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua Emanuel Gobay menyatakan, demonstrasi di Papua dan Papua Barat yang dipicu kasus dugaan diskriminasi terhadap mahasiswa Papua di Surabaya merupakan puncak gunung es dari diskriminasi yang dialami masyarakat Papua.
Menurut Emanuel, demonstrasi tersebut berpijak dari diskriminasi bernada rasis yang selama ini dirasakan masyarakat Papua yang tinggal di luar wilayah Papua.
"Seperti yang terjadi di Surabaya, diskriminasi itu sudah lama kami rasakan. Namun, peristiwa itu terus berulang," ujar Emanuel dalam konferensi pers di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta Pusat, Kamis (22/8/2019).
Baca juga: Istana Yakin Pemblokiran Internet di Papua Tak Ganggu Aktivis Warga
Ia menjelaskan, dari diskriminasi yang ditujukan ke masyarakat Papua, hingga saat ini belum ada penegakan hukum yang adil.
Maka dari itu, demonstrasi tak terhindarkan.
"Itu dasar kenapa dari peristiwa di Surabaya kemudian muncul demonstrasi di Papua karena diskriminasi yang berulang dan dilakukan secara spontan," paparnya kemudian.
Baca juga: Mahasiswa Papua di Jakarta Minta Jokowi Pastikan Proses Hukum Pelaku Tindakan Rasis
Bentuk diskriminasi yang bernada rasis terhadap masyarakat Papua, lanjutnya, dilakukan dengan modus-modus seperti pernyataan verbal hingga tindakan fisik.
"Bentuk dan modus diskriminasinya sama, dari pernyataaan verbal hingga tindakan fisik ke masyarakat Papua. Diskriminasi itu dilakukan, baik oleh ormas maupun aparat penegak hukum," ujarnya.
Baca juga: Sampai Kapan Pembatasan Internet di Papua? Ini Jawaban Menkominfo
Seperti diberitakan, aksi solidaritas Papua muncul di sejumlah kota di Provinsi Papua dan Papua Barat, seperti yang terjadi di Manokwari, Jayapura, dan Sorong, Senin (19/8/2019).
Unjuk rasa ini merupakan dampak dari perlakuan diskriminatif dan tidak adil yang dialami mahasiswa asal Papua di Surabaya, Malang, dan Semarang dalam beberapa waktu terakhir.