JAKARTA, KOMPAS.com - Sidang pendahuluan sengketa pilpres digelar di Mahkamah Konstitusi hari ini, Jumat (14/6/2019). Dalam sidang ini, MK akan menangani permohonan atau gugatan sengketa pilpres yang diajukan oleh calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjadi pihak termohon dalam sengketa ini. Sedangkan pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin akan menjadi pihak terkait.
Tim hukum Prabowo-Sandiaga sudah mengajukan permohonan gugatan kepada MK pada 24 Mei 2019 dan memperbaikinya pada 10 Juni 2019. Dalam permohonan tersebut, tim hukum paslon 02 menyajikan argumen mengenai tuduhan kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dalam Pilpres 2019.
Baca juga: Jelang Sidang MK, Ini Profil 9 Hakim Konstitusi Penentu Akhir Sengketa Pilpres
Tuduhan kecurangan TSM dalam berkas permohonan sengketa ini berakar dari capres petahana nomor urut 01 Joko Widodo yang tidak cuti dari jabatan presiden. Pihak 02 menyebut ada potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh capres petahana yang tidak cuti.
Penyalahgunaan kekuasaan ini membuat capres petahana berpotensi melakukan kecurangan pemilu yang TSM. Setidaknya, ada lima poin bentuk pelanggaran pemilu dan kecurangan masif yang dituduhkan pihak 02 dalam gugatannya.
Dalam gugatannya, pihak Prabowo-Sandiaga menyebut pasangan Jokowi-Ma'ruf telah menyalahgunakan APBN dan program pemerintah untuk meningkatkan elektabilitas mereka dalam Pilpres 2019. Pihak 02 menilai hal ini tidak etis dan merupakan bentuk nyata vote buying dengan anggaran negara.
Baca juga: Jokowi: Pemerintah dengan Persetujuan DPR Anggarkan Dana Kelurahan Rp 3 Triliun
Mereka memberikan beberapa contoh penyalahgunaan tersebut. Beberapa adalah program kenaikan dana kelurahan yang mulai dicairkan pada Januari 2019. Kemudian ada juga pengakuan Jokowi bahwa pembangunan infrastruktur dilakukan untiuk kepentingan Pemilu 2019.
Pihak Prabowo-Sandiaga juga mempersoalkan Peraturan Pemerintah tentang Gaji Perangkat Desa Setara PNS IIA yang diteken Jokowi pada Maret 2019. Semua contoh penyalahgunaan yang disebutkan itu dilengkapi dengan bukti berita media massa.
Pihak 02 menyebut ketidaknetralan aparat hadir di kalangan polisi dan intelijen. Tim hukum 02 menulis keberpihakan aparat terjadi di seluruh Indonesia. Seolah-olah, Polri dan Badan Intelijen Negara menjadi "tim pemenangan" Jokowi-Ma'ruf.
"Karena akhirnya pasangan calon 02 bukan hanya berkompetisi dengan pasangan calon 01 tetapi juga dengan presiden petahana yang di-back up oleh aparat polisi dan intelijen," isi gugatan mereka.
Mereka mencantumkan beberapa bukti atas tuduhan itu. Salah satu bukti ketidaknetralan Polri yang dimunculkan pihak 02 berasal dari akun twitter @Opposite6890. Akun tersebut disebut telah mengunggah video dengan narasi polisi membentuk buzzer sebanyak 100 orang di tiap polres seluruh Indonesia. Buzzer itu bertugas membela pasangan Jokowi-Ma'ruf di media sosial.
Baca juga: Prabowo dan BPN Tolak Hasil Penghitungan Resmi KPU, Ini 5 Faktanya..
Dalam gugatan itu, dituliskan bahwa akun induk buzzer polisi ini bernama @AlumniShambar. Akun instagram @AlumniShambar ini hanya mengikuti satu akun yaitu akun @jokowidodo.
Terkait ketidaknetralan intelijen, pihak 02 berjanji akan membawa buktinya dalam sidang. Namun dalam berkas gugatan ini, mereka mencantumkan pernyataan Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono sebagai petunjuk awal. Menurut mereka, pernyataan presiden dua periode tidak bisa dikesampingkan.
SBY menyebut ketidaknetralan aparat dalam Pemilu 2019 adalah kenyataan. Pernyataan SBY yang dimaksud diucapkan dalam jumpa pers di Bogor, Sabtu (26/8/2018).
Pihak 02 juga menuduh paslon 01 telah menggerakan birokrasi dan BUMN untuk memenangkan Pilpres 2019. Mereka mencontohkan beberapa kasus yang disertakan dengan bukti sumber pemberitaan media massa.