Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Masa Tenang Pemilu Diharapkan Jadi Momen Persiapan untuk Rekonsiliasi

Kompas.com - 16/04/2019, 10:49 WIB
Dylan Aprialdo Rachman,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jimly Asshiddiqie mengatakan, masa tenang Pemilu 2019 harus dimanfaatkan peserta pemilu dan masyarakat untuk rekonsiliasi.

Pasalnya, tahapan pemilu yang cukup panjang sudah menghasilkan dampak negatif tersendiri. Hal itu seperti maraknya ujaran kebencian, hoaks, fitnah hingga adu emosi satu sama lain.

"Kami menyerukan untuk semangat kerukunan, harus diisi sampai besok itu betul-betul tenang supaya menjadi bahan menciptakan suasana untuk rekonsiliasi pasca 17 April," kata Jimly kepada Kompas.com, Selasa (15/4/2019).

Baca juga: Jimly Asshiddiqie: Hentikan Saling Hujat di Masa Tenang Ini

Jika dibandingkan Pemilu 2014, Jimly menilai, tantangan Pemilu 2019 lebih rumit. Salah satunya melalui pengelolaan emosi peserta pemilihan dan masyarakat luas.

"Ini kampanye kelewat lama jadi proses pengerasan proses emosi, persaingan, kebencian, kemarahan kejengkelan ini lama banget, ya kan. Ini jadi bikin rumit mengelola emosinya," kata dia.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini menilai, momen rekonsiliasi menjadi tanggung jawab semua pihak. Jimly berharap aksi saling serang segera dihentikan.

Menurut dia, aksi serangan seperti itu masih saja berlanjut di media sosial. Ia khawatir, jika dibiarkan, sikap seperti ini akan mempertajam potensi konflik jelang pencoblosan.

Baca juga: MUI Berharap Para Tokoh Bantu Dinginkan Suasana pada Masa Tenang

"Kami mengimbau hentikanlah di masa tenang ini jangan lagi hujat-menghujat, jangan lagi kasak-kusuk, sudah cukuplah. Bahkan tokoh-tokoh yang sudah mengerti masalah pun terjebak hitam putih seolah-olah pemilihan umum ini hanya Pilpres," ujar Jimly.

Misalnya, kata Jimly, seseorang akan memilih calon legislatif tertentu apabila yang bersangkutan berafiliasi atau mendukung pasangan capres-cawapres tertentu.

Menurut dia, situasi ini tidak sehat dalam proses pemilihan. Oleh karena itu, terkesan ada pengelompokan yang cukup keras.

"Misalnya DPD ya, kan non partai, tidak boleh dikaitkan, diafiliasikan dengan partai tertentu ataupun capres tertentu. Dia harus dikonstruksi sebagai institusi berdiri sendiri. Tapi gara-gara ini serentak nah ini dicari-cari. Wah calon ini kelompok ini, golongan sana, golongan sini. Nah, ini menandakan masih belum reda," kata dia.

Baca juga: Saat Wapres Kalla Candai Ketum Golkar di Masa Tenang

Oleh karena itu, Jimly menekankan masa tenang harus dijadikan sebagai momen persiapan rekonsiliasi setelah Pemilu 2019 usai.

"Supaya kita mudah rekonsiliasi nanti pasca pemilihan umum, jadi 17 April diharapkan sudah tenang semuanya seperti kebiasaan di negara kita setiap hari H pemilihan umum selalu tenang tidak ada masalah," ujar Jimly.

KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo Infografik: Aturan Sah/Tidaknya Pencoblosan Pilpres 2019

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Budiman Sudjatmiko: Bisa Saja Kementerian di Era Prabowo Tetap 34, tetapi Ditambah Badan

Budiman Sudjatmiko: Bisa Saja Kementerian di Era Prabowo Tetap 34, tetapi Ditambah Badan

Nasional
PAN Ungkap Alasan Belum Rekomendasikan Duet Khofifah dan Emil Dardak di Pilkada Jatim

PAN Ungkap Alasan Belum Rekomendasikan Duet Khofifah dan Emil Dardak di Pilkada Jatim

Nasional
Prabowo Hendak Tambah Kementerian, Ganjar: Kalau Buat Aturan Sendiri Itu Langgar UU

Prabowo Hendak Tambah Kementerian, Ganjar: Kalau Buat Aturan Sendiri Itu Langgar UU

Nasional
Tingkatkan Pengamanan Objek Vital Nasional, Pertamina Sepakati Kerja Sama dengan Polri

Tingkatkan Pengamanan Objek Vital Nasional, Pertamina Sepakati Kerja Sama dengan Polri

Nasional
Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Tak Jadi Ajang 'Sapi Perah'

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Tak Jadi Ajang "Sapi Perah"

Nasional
Ganjar Deklarasi Jadi Oposisi, Budiman Sudjatmiko: Kalau Individu Bukan Oposisi, tapi Kritikus

Ganjar Deklarasi Jadi Oposisi, Budiman Sudjatmiko: Kalau Individu Bukan Oposisi, tapi Kritikus

Nasional
Telat Sidang, Hakim MK Kelakar Habis 'Maksiat': Makan, Istirahat, Sholat

Telat Sidang, Hakim MK Kelakar Habis "Maksiat": Makan, Istirahat, Sholat

Nasional
Ditanya Kans Anies-Ahok Duet di Pilkada DKI, Ganjar: Daftar Dulu Saja

Ditanya Kans Anies-Ahok Duet di Pilkada DKI, Ganjar: Daftar Dulu Saja

Nasional
Ke Ribuan Perwira Siswa, Sekjen Kemenhan Bahas Rekonsiliasi dan Tampilkan Foto Prabowo-Gibran

Ke Ribuan Perwira Siswa, Sekjen Kemenhan Bahas Rekonsiliasi dan Tampilkan Foto Prabowo-Gibran

Nasional
Resmikan Tambak BINS, Jokowi: Ini Langkah Tepat Jawab Permintaan Ikan Nila yang Tinggi

Resmikan Tambak BINS, Jokowi: Ini Langkah Tepat Jawab Permintaan Ikan Nila yang Tinggi

Nasional
Terus Berpolitik, Ganjar Akan Bantu Kader PDI-P yang Ingin Maju Pilkada

Terus Berpolitik, Ganjar Akan Bantu Kader PDI-P yang Ingin Maju Pilkada

Nasional
Kentalnya Aroma Politik di Balik Wacana Penambahan Kementerian Kabinet Prabowo-Gibran

Kentalnya Aroma Politik di Balik Wacana Penambahan Kementerian Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Pejabat Kementan Patungan untuk Gaji Pembantu SYL di Makassar Rp 35 Juta

Pejabat Kementan Patungan untuk Gaji Pembantu SYL di Makassar Rp 35 Juta

Nasional
Panglima TNI Perintahkan Pengamanan Pilkada Harus Serius karena Ancaman dan Risiko Lebih Besar

Panglima TNI Perintahkan Pengamanan Pilkada Harus Serius karena Ancaman dan Risiko Lebih Besar

Nasional
Hari Pertama Penyerahan Dukungan, Mayoritas Provinsi Nihil Cagub Independen

Hari Pertama Penyerahan Dukungan, Mayoritas Provinsi Nihil Cagub Independen

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com