JUDUL ini saya sarikan dari wawancara saya dengan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto, seorang Jenderal TNI berbintang 4 yang menjabat di masa 4 Presiden: Soeharto, Habibie, Gus Dur, dan Jokowi.
Ia melewati masa-masa kritis negeri ini, mulai dari peralihan orde baru, awal pembentukan reformasi, hingga saat ini era post-truth.
Pertanyaan pertama yang saya ajukan padanya adalah, meski sempat melewati masa-masa sulit, apakah Pemilu kali ini adalah Pemilu yang paling berat?
Wiranto menjawab, iya.
Ini kali pertama dalam sejarah Indonesia pemilihan legislatif dan presiden dilakukan serentak. Pemilih memilih presiden dan wakil presiden, DPR, DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota, dan DPD, dalam satu waktu, satu bilik, dan satu orang.
Ini bukan hal mudah bagi pemilih dan hal yang baru pula bagi pelaksananya.
Selain baru pertama kali dilakukan, kegaduhan di dunia maya yang riuh-rendah juga menjadi tantangan bagi pelaksanaan Pemilu kali ini.
Terkait hal ini, saya bertanya soal pernyataannya yang mewacanakan hendak menjerat pelaku dan penyebar hoaks dengan Undang-undang Terorisme.
"Terorisme itu ada yang fisik ada yang non fisik. Tapi kan teror. Karena menimbulkan ketakutan. Terorisme itu kan menimbulkan ketakutan di masyarakat. Kalau masyarakat diancam dengan hoaks untuk tidak ke TPS, itu sudah terorisme," ujar Wiranto seperti dikutip Kompas.com. Baca: Wiranto: Kalau Masyarakat Diancam dengan Hoaks untuk Tak ke TPS, Itu Terorisme
Saya bertanya, apa yang mendasari pernyataannya ini? Apakah kondisinya sudah sedemikian mengkhawatirkan sehingga ia menyamakan pelaku hoaks sebagai teroris dan dikategorikan setara dengan kejahatan luar biasa, terorisme, narkoba, dan korupsi?
Wiranto mencontohkan, "Saat ada hoaks di sebuah tempat umum, kemudian dikatakan ada bom di lokasi, yang membuat orang-orang lari tunggang-langgang karenanya. Dan ujungnya jatuh banyak korban karena panik, terinjak dan lain sebagainya. Ini yang dikatakan bisa memunculkan korban dengan hal yang sama pada kejahatan terorisme!"
Sontak pro-kontra menyeruak. Bahkan Wiranto mengaku ada yang menyebutnya bodoh, meski tak sedikit pula yang mendukung.
Dalam wawancara dengan saya, ia mengatakan apa yang disampaikannya telah berhasil membuat rangsangan berpikir agar wacana ini didiskusikan, dipikirkan, sehingga ada terobosan menanggulangi kerusakan yang lebih parah dari serbuan raksasa berita bohong belakangan ini.
Dari sini, saya maju bertanya tentang pelaksanaan Pemilu 2019. Bagaimana halnya dengan isu Partai Komunis Indonesia (PKI) dan khilafah yang menjadi trending topic mengiringi perjalanan Pemilu 2019?
Logiskah salah satunya dikatakan bisa menguasai Indonesia? Apakah keduanya bisa dikategorikan sebagai berita bohong atau fakta?