ISU kebocoran anggaran negara tiba-tiba menghangat dan menjadi polemik menjelang digelarnya debat kedua pemilihan presiden 2019 yang akan diikuti calon presiden pada 17 Februari 2019 mendatang.
Isu ini dilontarkan oleh calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto kala berpidato pada acara HUT ke-20 Federasi Pekerja Metal Indonesia di Hall Sport Kelapa Gading, Jakarta Utara, Rabu (6/2/2019) lalu.
Prabowo memperhitungkan kebocoran anggaran negara mencapai 25 persen atau mencapai Rp 500 triliun. Kebocoran tersebut disebabkan praktik penggelembungan anggaran di berbagai proyek pemerintah.
Klaim Prabowo langsung memancing perdebatan. Calon presiden petahana, Joko Widodo, menantang lawannya itu untuk melapor ke KPK jika memiliki bukti kebocoran anggaran negara.
Angka Rp 500 triliun, kata Jokowi di sela-sela menghadiri Perayaan Imlek Nasional 2019 di JIExpo Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis (7/2/2019), merupakan nilai yang sangat besar.
Kebocoran anggaran bukan merupakan isu baru. Isu ini juga muncul dalam pemilihan presiden 2014 lalu. Saat itu Prabowo, yang juga berhadapan dengan Joko Widodo sebagai calon presiden, membuat pernyataan kontroversial bahwa APBN Indonesia bocor sebesar Rp 1.000 triliun. Pernyataan ini dinilai berlebihan lantaran APBN Indonesia ketika itu berkisar Rp 1.500 triliun.
Masalah yang menjadi perdebatan antarkedua kubu bukan lah praktik kebocoran anggaran, namun pada klaim nilai kebocoran yang begitu fantastis. Perdebatan inilah yang akan diangkat oleh talk show Satu Meja The Forum di Kompas TV, Rabu 13 Februari 2019.
Kebocoran dalam pengelolaan anggaran dan kekayaan negara memang terjadi di Indonesia. Praktik ini jamak terjadi di negara-negara yang sarat dengan korupsi dan kental budaya birokrasi. Belum terbangunnya sistem yang efisien dan transparan merupakan atmosfer bagi terciptanya praktik-praktik tersebut.
Berapa nilai sebenarnya dari kebocoran pengelolaan anggaran di Republik ini mungkin sulit untuk dibuktikan. Tidak ada penjelasan dan bukti valid yang pernah disodorkan. Baik oleh Prabowo sendiri, maupun oleh pemerintah yang membantah angka fantastis Rp 500 triliun.
Analisis kebocoran anggaran memang pernah dilakukan Prof. Sumitro Djojohadikusumo, salah satu peletak dasar ekonomi Indonesia yang merupakan ayah dari Prabowo Subianto.
Menurut versi sang begawan ekonomi, kebocoran hingga awal tahun 1990-an saja sudah mencapai 30 persen. Namun, hingga kini penjelasan detail dari analisis Prof. Sumitro tidak pernah disampaikan ke publik.
Penasihat KPK, Abdullah Hehamahua, seperti dikutip Kompas.com, pernah mengatakan sejak 2005 hingga 2010 lembaganya menemukan rata-rata kebocoran anggaran proyek pembangunan mencapai 35 persen.
Berapapun nilainya, kebocoran anggaran merupakan masalah sistemik yang telah berlangsung lama, bahkan diyakini sejak 10 tahun Indonesia merdeka.
Yang mendesak dilakukan adalah menciptakan sistem yang bisa menutup lubang-lubang kebocoran mulai dari hulu hingga hilir, bukan malah sibuk mempermasalahkan nilai kebocoran.
Persoalan kebocoran ini seolah telah menjadi budaya yang akan sangat sulit diberantas habis hanya dalam satu periode masa kepresidenan. Karena itu, dibutuhkan jurus yang benar-benar jitu untuk mengatasinya.