Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Era Jokowi Dinilai Tak Terlaksana dengan Baik

Kompas.com - 18/10/2018, 21:50 WIB
Kristian Erdianto,
Sabrina Asril

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid berpendapat bahwa agenda perlindungan atas kebebasan beragama dan berkeyakinan tidak terlaksana dengan baik selama empat tahun masa kepemimpinan Joko Widodo.

Salah satu indikator masih berlakunya Undang-Undang Nomor 1/PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. UU tersebut selama ini telah ditafsirkan oleh suatu kelompok untuk mendiskriminasi hak-hak individu atau kelompok lain.

"Agenda ini tidak terlaksana dengan baik karena ada UU yang dibiarkan berlaku yaitu UU penodaan agama. Dua hal yang diatur, kalau anda menafsirkan ajaran yang dianggap menyimpang anda bisa dipenjara. Atau jika anda dituduh menyebarkan permusuhan anda bisa dipenjara," ujar Usman saat berbicara dalam Aksi Kamisan, di depan Istana Negara, Jakarta Pusat, Kamis (18/10/2018).

Baca juga: 4 Tahun Jokowi Memimpin, Penegakan HAM Alami Kemunduran

Akibat dari adanya UU tersebut, lanjut Usman, muncul banyak kasus yang dinilai mendiskriminasi kelompok minoritas.

Ia mencontohkan kasus kekerasan yang kerap menimpa warga Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI). Berdasarkan catatan Komnas HAM tahun 2017, setidaknya Menurut Imdadun, setidaknya ada 5 provinsi dan sekitar 20 kabupaten yang menerbikan peraturan pelarangan kegiatan warga JAI.

Kasus lain yang menjadi sorotan adalah vonis bersalah terhadap tiga mantan petinggi organisasi Gerakan Fajar Nusantara ( Gafatar) yakni Mahful Muis Manurung, Ahmad Mussadeq dan Andri Cahya oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada Selasa (7/3/2017).

Baca juga: MK Tolak Gugatan Jamaah Ahmadiyah tentang Pasal Penodaan Agama

Majelis Hakim menyatakan ketiganya bersalah melakukan tindak pidana penodaan terhadap suatu agama. Atas putusan tersebut, majelis hakim menjatuhkan hukuman lima tahun penjara tehadap Mahful dan Mussadeq. Sementara Andri dijatuhkan hukuman tiga tahun penjara.

Selain itu, Usman juga mencontohkan kasus Meiliana, seorang warga Tanjungbalai yang divonis 18 bulan penjara karena mengeluhkan pengeras suara azan.

Majelis hakim yang dipimpin Wahyu Prasetyo Wibowo menyatakan, Meiliana terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 156 KUHP tentang penghinaan terhadap suatu golongan di Indonesia terkait tas, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara, Selasa (21/8/2018).

"Dala kasus Ahmadiyah yang dipenjara, dalam kasus Gafatar, dalam kasus Meiliana, itu adalah orang-orang yang tidak sedang menyebarkan permusuhan. Tapi orang-orang yang sedang meyakini apa yang dipikirkannya sebagai kebenaran," kata Usman.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah, Minta PBB Bertindak

Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah, Minta PBB Bertindak

Nasional
Ganjar dan Anies Pilih Oposisi, Akankah PDI-P Menyusul?

Ganjar dan Anies Pilih Oposisi, Akankah PDI-P Menyusul?

Nasional
Kata Gibran soal Urgensi Adanya Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis

Kata Gibran soal Urgensi Adanya Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis

Nasional
Riwayat Gus Muhdlor: Hilang Saat OTT, Beralih Dukung Prabowo, Akhirnya Tetap Ditahan KPK

Riwayat Gus Muhdlor: Hilang Saat OTT, Beralih Dukung Prabowo, Akhirnya Tetap Ditahan KPK

Nasional
Cek Hotel dan Bus Jemaah Haji, Menag: Semua Baik

Cek Hotel dan Bus Jemaah Haji, Menag: Semua Baik

Nasional
Menerka Peluang Anies dan Ahok Berduet pada Pilkada DKI Jakarta

Menerka Peluang Anies dan Ahok Berduet pada Pilkada DKI Jakarta

Nasional
Gibran Sebut Ada Pembahasan soal Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis, tapi Belum Final

Gibran Sebut Ada Pembahasan soal Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis, tapi Belum Final

Nasional
Pengamat: Jangankan 41, Jadi 100 Kementerian Pun Tak Masalah asal Sesuai Kebutuhan

Pengamat: Jangankan 41, Jadi 100 Kementerian Pun Tak Masalah asal Sesuai Kebutuhan

Nasional
Utak-atik Strategi Jokowi dan Gibran Pilih Partai Politik, PSI Pasti Dicoret

Utak-atik Strategi Jokowi dan Gibran Pilih Partai Politik, PSI Pasti Dicoret

Nasional
Gibran Lebih Punya 'Bargaining' Gabung Partai Usai Dilantik Jadi Wapres

Gibran Lebih Punya "Bargaining" Gabung Partai Usai Dilantik Jadi Wapres

Nasional
Wacana Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Politis dan Boroskan Uang Negara

Wacana Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Politis dan Boroskan Uang Negara

Nasional
'Golkar Partai Besar, Tidak Bisa Diobok-obok Gibran'

"Golkar Partai Besar, Tidak Bisa Diobok-obok Gibran"

Nasional
Prabowo Ingin Tambah Menteri, Wapres Ma'ruf Amin Ingatkan Pilih yang Profesional

Prabowo Ingin Tambah Menteri, Wapres Ma'ruf Amin Ingatkan Pilih yang Profesional

Nasional
[POPULER NASIONAL] Jokowi Berkelakar Ditanya soal Pindah Parpol | PDI-P Beri Sinyal di Luar Pemerintahan

[POPULER NASIONAL] Jokowi Berkelakar Ditanya soal Pindah Parpol | PDI-P Beri Sinyal di Luar Pemerintahan

Nasional
Prabowo Diharap Tetapkan 2 Syarat Utama Sebelum Tambah Kementerian

Prabowo Diharap Tetapkan 2 Syarat Utama Sebelum Tambah Kementerian

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com