Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Usulan Saksi Pemilu Dibiayai APBN Diduga "Bargaining" Politik

Kompas.com - 18/10/2018, 20:08 WIB
Fabian Januarius Kuwado,
Dian Maharani

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com -- Analis politik dari Exposit Strategic Arif Susanto menduga kuat usulan Komisi II DPR RI agar APBN menanggung dana saksi partai politik pada Pemilu 2019, adalah bentuk bargaining politik ke pemerintah.

Arif menjelaskan bahwa pola kemunculan usulan ini serupa dengan usulan pembangunan gedung baru DPR RI dan dana aspirasi.

Muncul ke permukaan, sempat meredup, lalu muncul kembali beberapa waktu kemudian hingga akhirnya disetujui pemerintah.

"Usul dana saksi dibiayai oleh APBN ini kan muncul tahun 2014, redup, kemudian muncul lagi 2017. Berulang terus. Kalau kita perhatikan, pola isunya sama seperti pembangunan gedung baru DPR RI dan dana aspirasi yang dulu sempat mencuat jadi kontroversi. Pada akhirnya kan gol," ujar Arif dalam diskusi di Sekretariat Formappi, Jakarta Timur, Kamis (18/10/2018).

Baca juga: PAN Setuju Jika Dana Saksi Pemilu dari APBN Dikelola Bawaslu

"Jadi, bukannya enggak mungkin suatu hari nanti akan diakomodasi pemerintah. Karena biasanya partai-partai akan mencoba melakukan bargaining dengan pemerintah sampai pemerintah merasa terpojok atas kasus tertentu, terus akhirnya dibarter," lanjut dia.

Apabila benar demikian, Arif mengatakan bahwa lembaga negara legislatif, telah disusupi oleh kepentingan partai politik yang cenderung dikuasai oligarki politik.

"Jadi tampaknya sinyalemen DPR RI menjadi lembaga yang disusupi oleh kepentingan parpol untuk keuntungannya semata-mata, menemukan pembenarannya lewat usul yang terus diulang oleh DPR, supaya saksi itu dibiayai negara," ujar Arif.

Kondisi demikian, lanjut Arif, membawa dampak negatif bagi efektivitas pemerintahan. Sebab, secara psikologis pemerintah akan berupaya merangkul sebanyak-banyaknya kelompok politik untuk menjadi sekutu.

Baca juga: Analis Politik: Parpol Jadi Benalu jika Menumpang Hidup pada Negara Lewat APBN

Hal itu pun menyebabkan pemerintah lebih disibukkan untuk 'bagi-bagi kue' ketimbang bekerja untuk masyarakat.

"Pemerintahan yang bekerja tidak efektif, antara lain karena pemerintahannya jauh lebih disibukkan melakukan konsolidasi kekuatan daripada bekerja untuk rakyat. Memang mengumpulkan sekutu banyak itu memperkuat konsolidasi kekuasaan. Tapi tidak menghasilkan pemerintah yang efisien," ujar Arif.

Diberitakan, usulan itu memang dilontarkan pertama kali Komisi II DPR. Ketua Komisi II DPR RI Zainudin Amali menjelaskan, ada dua alasan mengapa usulan itu dilontarkan.

Pertama, seluruh fraksi di Komisi II sepakat dana saksi parpol tak dibebankan ke parpol agar menciptakan keadilan dan kesetaraan. Sebab, tidak semua parpol peserta Pemilu memiliki cukup dana untuk membiayai saksi.

Kedua, usulan tersebut demi menghindarkan para caleg membiayai saksinya sendiri. Hal itu sudah terbukti menyebabkan dampak negatif.

Meski demikian, Komisi II juga menyerahkan keputusan itu kepada pemerintah.

"Itu tergantung dari kemampuan keuangan pemerintah. Kalau pemerintah menyatakan tidak ada dana yang tersedia, ya sudah. Artinya kembali kepada partai sendiri untuk menanggung itu," kata politikus Partai Golkar itu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ganjar Kembali Tegaskan Tak Akan Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Ganjar Kembali Tegaskan Tak Akan Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Nasional
Kultur Senioritas Sekolah Kedinasan Patut Disetop Buat Putus Rantai Kekerasan

Kultur Senioritas Sekolah Kedinasan Patut Disetop Buat Putus Rantai Kekerasan

Nasional
Kekerasan Berdalih Disiplin dan Pembinaan Fisik di Sekolah Kedinasan Dianggap Tak Relevan

Kekerasan Berdalih Disiplin dan Pembinaan Fisik di Sekolah Kedinasan Dianggap Tak Relevan

Nasional
Kekerasan di STIP Wujud Transformasi Setengah Hati Sekolah Kedinasan

Kekerasan di STIP Wujud Transformasi Setengah Hati Sekolah Kedinasan

Nasional
Ganjar Bubarkan TPN

Ganjar Bubarkan TPN

Nasional
BNPB: 13 Orang Meninggal akibat Banjir dan Longsor di Sulsel, 2 dalam Pencarian

BNPB: 13 Orang Meninggal akibat Banjir dan Longsor di Sulsel, 2 dalam Pencarian

Nasional
TNI AU Siagakan Helikopter Caracal Bantu Korban Banjir dan Longsor di Luwu

TNI AU Siagakan Helikopter Caracal Bantu Korban Banjir dan Longsor di Luwu

Nasional
Prabowo Diharapkan Beri Solusi Kuliah Mahal dan Harga Beras daripada Dorong 'Presidential Club'

Prabowo Diharapkan Beri Solusi Kuliah Mahal dan Harga Beras daripada Dorong "Presidential Club"

Nasional
Ide 'Presidential Club' Dianggap Sulit Satukan Semua Presiden

Ide "Presidential Club" Dianggap Sulit Satukan Semua Presiden

Nasional
Halal Bihalal, Ganjar-Mahfud dan Elite TPN Kumpul di Posko Teuku Umar

Halal Bihalal, Ganjar-Mahfud dan Elite TPN Kumpul di Posko Teuku Umar

Nasional
Pro-Kontra 'Presidential Club', Gagasan Prabowo yang Dinilai Cemerlang, tapi Tumpang Tindih

Pro-Kontra "Presidential Club", Gagasan Prabowo yang Dinilai Cemerlang, tapi Tumpang Tindih

Nasional
Evaluasi Mudik, Pembayaran Tol Nirsentuh Disiapkan untuk Hindari Kemacetan

Evaluasi Mudik, Pembayaran Tol Nirsentuh Disiapkan untuk Hindari Kemacetan

Nasional
Polri: Fredy Pratama Masih Gencar Suplai Bahan Narkoba Karena Kehabisan Modal

Polri: Fredy Pratama Masih Gencar Suplai Bahan Narkoba Karena Kehabisan Modal

Nasional
SYL Ungkit Kementan Dapat Penghargaan dari KPK Empat Kali di Depan Hakim

SYL Ungkit Kementan Dapat Penghargaan dari KPK Empat Kali di Depan Hakim

Nasional
Saksi Mengaku Pernah Ditagih Uang Pembelian Senjata oleh Ajudan SYL

Saksi Mengaku Pernah Ditagih Uang Pembelian Senjata oleh Ajudan SYL

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com