Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

KPK Anggap Alasan Gugatan Nur Alam terhadap Ahli Terkesan Mengada-ada

Kompas.com - 02/10/2018, 17:29 WIB
Abba Gabrillin,
Dian Maharani

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai, alasan gugatan yang diajukan mantan Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam terhadap ahli lingkungan Basuki Wasis terlalu mengada-ada. Menurut KPK, gugatan itu tidak layak untuk dilanjutkan di pengadilan.

"Alasan Nur Alam telah mengalami kerugian materil sejumlah Rp 93,61 juta karena tidak mendapatkan tunjangan lainnya, sebagai akibat menjadi tersangka dan ditahan oleh KPK, kami pandang mengada-ngada," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah dalam keterangan tertulis, Selasa (2/10/2018).

Basuki Wasis sebelumnya dihadirkan oleh jaksa KPK sebagai saksi ahli dalam persidangan terhadap Nur Alam di Pengadilan Tipikor Jakarta. Basuki diminta oleh KPK untuk menghitung kerugian negara akibat perbuatan yang dilakukan Nur Alam.

Namun, Nur Alam keberatan dengan keterangan Basuki Wasis dan mengajukan gugatan perdata di Pengadilan Negeri Cibinong.

Baca juga: KPK Harap Hakim Tolak Gugatan Nur Alam terhadap Ahli Lingkungan Basuki Wasis

Dalam gugatan, Nur Alam beralasan telah mengalami kerugian materil sejumlah Rp 93,61 juta. Kerugian itu karena tidak mendapatkan tunjangan lain seperti insentif pajak bahan bakar, insentif pajak balik nama, dan insentif pajak kendaraan bermotor untuk Triwulan III Tahun 2017 hingga Triwulan I Tahun 2018.

Menurut Nur Alam, kerugian itu sebagai akibat menjadi tersangka dan ditahan oleh KPK. Seolah-olah, menurut Febri, Nur Alam dijadikan tersangka hanya karena keterangan ahli Basuki Wasis.

"Padahal, dalam penetapan tersangka KPK tidak bergantung hanya pada satu keterangan ahli. Bahkan dugaan korupsi yang didakwakan pada Nur Alam tidak hanya satu, melainkan dua, yaitu terkait persetujuan IUP dan menerima gratifikasi," kata Febri.

Baca juga: KPK Jadi Pihak Terkait Perkara Gugatan Nur Alam terhadap Saksi Ahli

Menurut KPK, tidak diterimanya tunjangan oleh Nur Alam sejumlah Rp 93,61 juta tersebut bukan karena perbuatan Basuki Wasis, tetapi justru karena dugaan perbuatan korupsi Nur Alam yang kemudian diproses oleh KPK. Hal ini semakin diperkuat, karena hingga tingkat Pengadilan Tinggi, Nur Alam divonis bersalah melakukan korupsi.

Nur Alam sebelumnya divonis 12 tahun penjara oleh majelis hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.

Menurut hakim, Nur Alam terbukti menyalahgunakan wewenang selaku Gubernur dalam memberikan Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan, Persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi.

Kemudian, Persetujuan Peningkatan IUP Eksplorasi menjadi IUP Operasi  Produksi kepada PT Anugerah Harisma Barakah (AHB).

Nur Alam terbukti merugikan negara sebesar Rp 1,5 triliun. Menurut hakim, perbuatan melawan hukum tersebut telah memperkaya dirinya sebesar Rp 2,7 miliar. Kemudian, memperkaya korporasi, yakni PT Billy Indonesia sebesar Rp 1,5 triliun.

Selain itu, Nur Alam dinilai terbukti menerima gratifikasi Rp 40,2 miliar dari Richcorp International Ltd. Menurut jaksa, uang dari Richcorp itu ada kaitan dengan perizinan yang dikeluarkan terhadap PT AHB.

Pengadilan Tinggi DKI Jakarta kemudian memperberat hukuman terhadap Nur Alam. Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu diperberat hukumannya dari 12 tahun menjadi 15 tahun penjara.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Nasional
Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Nasional
Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Nasional
Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Nasional
Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Nasional
Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Nasional
7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

Nasional
Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Nasional
Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Nasional
Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Nasional
BPK Buka Suara usai Auditornya Disebut Peras Kementan Rp 12 Miliar

BPK Buka Suara usai Auditornya Disebut Peras Kementan Rp 12 Miliar

Nasional
Chappy Hakim: Semua Garis Batas NKRI Punya Potensi Ancaman, Paling Kritis di Selat Malaka

Chappy Hakim: Semua Garis Batas NKRI Punya Potensi Ancaman, Paling Kritis di Selat Malaka

Nasional
Prabowo Diminta Cari Solusi Problem Rakyat, Bukan Tambah Kementerian

Prabowo Diminta Cari Solusi Problem Rakyat, Bukan Tambah Kementerian

Nasional
Zulhas: Anggota DPR dan Gubernur Mana yang PAN Mintai Proyek? Enggak Ada!

Zulhas: Anggota DPR dan Gubernur Mana yang PAN Mintai Proyek? Enggak Ada!

Nasional
Usul Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Sinyal Kepemimpinan Lemah

Usul Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Sinyal Kepemimpinan Lemah

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com