Oleh: Burhanuddin Muhtadi
PRAKTIK membagikan uang atau barang untuk memengaruhi seseorang agar memilih seorang calon legislator atau calon presiden dalam pemilihan umum (pemilu) – atau biasa disebut sebagai praktik jual beli suara atau politik uang – begitu merajalela di Indonesia.
Penelitian doktoral saya mengenai praktik jual beli suara di Indonesia menemukan bahwa satu di antara tiga orang pemilih terpapar oleh praktik ini pada Pemilu 2014. Hal ini menempatkan Indonesia ke peringkat ketiga negara di dunia yang paling banyak melakukan politik uang ketika pemilu.
Saya mengolah data dari berbagai macam survei yang dilakukan antara tahun 2006 dan 2016 dengan jumlah responden lebih dari 800.000 orang di seluruh Indonesia.
Artikel saya berusaha menjawab mengapa praktik jual beli suara begitu mengakar di Indonesia meski dianggap tabu oleh masyarakat dan fakta bahwa praktik ini hanya membawa pengaruh sedikit pada hasil pemilu.
Praktik jual beli suara dulu dan sekarang
Praktik jual beli suara sudah ada sejak pemilu pertama Indonesia pada 1955. Salah satu partai tertua Indonesia, Partai Nasional Indonesia (PNI), yang didirikan oleh Presiden Soekarno, membagikan uang kepada tokoh-tokoh pada tingkat lokal agar bisa memenangi pemilu.
Pada saat masa Orde Baru, membeli suara pemilih dianggap bukan strategi populer karena partai politik pada saat itu melihat tidak ada untungnya melakukan praktik ini dengan sistem pemilu yang selalu memenangkan partai pemerintah, yaitu Golkar. Meskipun demikian, Golkar beberapa kali dilaporkan membagikan uang untuk memobilisasi dukungan massa.
Praktik jual beli suara hampir tidak terdengar pada Pemilu 1999 ketika Indonesia baru berubah menjadi negara demokrasi setelah runtuhnya kekuasaan Orde Baru. Saat itu, kompetisi terjadi antarpartai, bukan antarkandidat, yang menurut saya berperan penting dalam mendorong maraknya praktik jual beli suara ini.
Saya perhatikan praktik jual beli suara mulai berkembang pada Pemilu 2009 setelah pemerintah memperbolehkan individual kandidat untuk berkompetisi di dalam pemilu. Fakta bahwa setiap kandidat bersaing tidak hanya dengan calon lain dari partai yang berbeda, tetapi juga bersaing dengan kandidat lain dalam satu partai memperparah keberadaan praktik jual beli suara.
Praktik jual beli suara masih ada sampai sekarang. Dalam penelitian saya di lapangan selama 13 bulan pada 2013 dan 2014, saya menemukan bahwa kebanyakan para kandidat ini sangat terbuka dalam mendiskusikan berapa banyak uang yang mereka bagikan kepada para pemilih dan bagaimana mereka terlibat dalam praktik jual beli suara ini.
Praktik jual beli suara ini ada di mana-mana sehingga seorang mantan anggota parlemen pernah menantang saya dalam sebuah wawancara agar saya memotong jarinya jika saya bisa menemukan anggota parlemen yang terpilih tanpa membeli suara pemilih.
Meskipun jumlah kasus praktik jual beli suara di Indonesia tinggi, tidak banyak yang mengetahui berapa cakupannya dan bagaimana praktik ini memengaruhi hasil pemilu. Riset saya berusaha menjawab kedua pertanyaan ini.
Menggunakan data survei yang dikumpulkan setelah Pemilu 2014, saya menemukan bahwa setidaknya 33 persen dari pemilih pernah ditawari suap.
Hal ini berarti bahwa dari 187 juta total jumlah pemilih, hampir 62 juta orang menjadi target praktik jual beli suara. Angka ini menempatkan Indonesia di nomor ketiga negara-negara di dunia yang melakukan praktik jual beli suara, setelah Uganda dan Benin.