JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM, Enny Nurbaningsih, mengatakan, pemerintah menginginkan agar motif politik dan ideologi tak masuk dalam batang tubuh definisi dalam Undang-undang Antiterorisme.
Enny mengatakan, pemerintah beralasan tak ingin mempersempit ruang gerak penegak hukum dalam menindak pelaku terorisme.
Ia menjelaskan, jika frasa motif politik dan ideologi dimasukan dalam batang tubuh pasal definisi, maka penegak hukum akan kesulitan dalam membuktikan tindak pidana terorisme.
Baca juga: Pemerintah Ingin Definisi Terorisme Tanpa Motif Politik, Ideologi dan Ancaman Negara
Sebab, lanjut dia, bisa saja tersangka pelaku terorisme berdalih tak memiliki motif politik dan ideologi saat beraksi.
"Kalau dituntut harus masuk dalam unsur delik itu yang repot dalam pembuktiannya. Apa sih unsur tujuan politik, apa unsur tujuan ideologi? Nah, itu agak kesulitan (dalam pembuktian)," kata Enny di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (23/5/2018).
Ia mengatakan, saat ini pemerintah tengah berupaya memperjuangkan usulan tersebut kepada DPR.
Baca juga: RUU Antiterorisme: dari Pasal Guantanamo sampai Tantangan HAM
Terlebih, lanjut Enny, dalam Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang menjadi rujukan, definisi terorisme tak mencakup motif politik dan ideologi.
"Sementara definisi yang kami rumuskan dalam usulan itu adalah definisi yang kami angkat dari pasal 6 dan 7 undang-undang existing yaitu Undang-undang No. 15 tahun 2003," lanjut Enny.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.