JAKARTA, KOMPAS.com — Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari menganggap aksi balas-membalas sindiran yang dilakukan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) saat ini tak lain karena ingin merebut "pasar" yang sama.
Pasar itu adalah warga Nahdliyin karena keduanya berasal dari basis yang sama, yaitu Nahdlatul Ulama.
"Jadi, mereka ini sama-sama memperebutkan komunitas dan suara dari kalangan yang sama," kata Qodari saat dihubungi, Kamis (19/4/2018).
Qodari mengatakan, PKB lahir dari tokoh NU tulen, seperti Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dan tokoh lainnya.
Sementara PPP, meski sejarahnya hasil fusi dari berbagai macam partai politik Islam, di dalamnya ada NU, Masyumi, dan lainnya.
Baca juga: Yusril Sebut Politisi PPP Pindah ke PBB karena Keputusan Dukung Jokowi
"Pada zaman Orde Baru digabungkan menjadi PPP. Sekarang ini yang dominan faksinya di PPP adalah NU. Ketua umumnya NU, sekjennya NU. Jadi, ini sama-sama jualan bakso," kata Qodari.
Menurut Qodari, persaingan PKB dan PPP wajar terjadi karena kedua partai ini tidak akan bersaing dengan PAN dan PKS yang punya pasar berbeda.
Persaingan PKB dan PPP, kata Qodari, mirip dengan persaingan antara PAN dan PKS yang segmentasinya sama.
"PAN itu saingannya dengan PKS, segmennya sama. Jadi, ini rivalitasnya sesama saudara kandung, kompetisinya sangat kencang," kata Qodari.
Sindir-menyindir ini juga tak terlepas dari kepentingan dalam Pemilu Presiden (Pilpres) 2019.
Baca juga: Sekjen PPP Tantang Muhaimin Debat dengan Romahurmuziy
"Memang ada bumbu tambahan dalam konteks 2019 ini, masing-masing punya jago, PKB punya jago Muhaimin Iskandar, PPP punya jago M Romahurmuziy," kata Qodari.
Kata Qodari, setiap jagoan PPP dan PKB itu bukan untuk calon presiden, melainkan untuk calon wakil presiden.
"Ada perbedaan sikap politik juga, PPP sudah jelas dukung Joko Widodo dan tidak minta cawapres. Sementara PKB belum resmi dukung Jokowi, tetapi sudah minta-minta cawapres," ujar Qodari.
Qodari beralasan, dengan situasi seperti saat ini, partai politik koalisi Jokowi lainnya tidak perlu turun untuk menengahi "ribut-ribut" yang ada.
"Ini enggak masalah, ibaratnya mereka masih dalam satu garis yang sama, kecenderungannya masih ke Jokowi," ujarnya.