JAKARTA, KOMPAS.com – Belakangan, nama mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo kerap diperbincangkan publik, bahkan namanya ikut memenuhi lini masa media sosial.
Hal itu bisa dikonfirmasi dari hasil survei beberapa lembaga yang menempatkan nama Gatot sebagai tokoh yang punya elektabilitas cukup menjanjikan sebagai calon wakil presiden 2019.
Gatot dalam angka
Di survei Indo Barometer, nama Gatot juga masuk ke dalam 3 nama cawapres dengan elektabilitas tertinggi. Angkanya sebesar 7,9 persen di bawah Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) 15,1 persen dan Anies Baswedan 13,1 persen.
Sementara berdasarkan survei Alvara Research Center, nama Gatot ada diposisi kedua dengan 15,2 persen, kalah dari AHY yang elektabitasnya 17,2 persen.
Namun, di dalam survei yang sama, nama Gatot paling disetujui menjadi cawapres Jokowi di 2019 dengan persentase persetujuan mencapai 61,9 persen.
Baca juga : Ditanya soal Gatot Nurmantyo, Airlangga Bilang Pat Gulipat, Siapa Cepat, Dia Dapat
Di bawah Gatot, ada nama Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar. Sebanyak 59,6 persen responden menyatakan setuju pria yang kerap disapa Cak Imin itu menjadi pendamping Jokowi.
Saat nama Jokowi dipasangkan dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), 55,5 persen responden menyatakan setuju dan 44,5 persen menyatakan tidak setuju.
Adapun survei Lembaga Political Communication Institute (Polcomm Institute) mengungkapkan bahwa nama Gatot juga menjadi nama terdepan bila dipasangkan dengan Prabowo Subianto.
Sebanyak 21,83 persen responden memilih Gatot Nurmantyo layak untuk mendampingi Prabowo pada Pilpres 2019.
Kenapa melejit?
Analis politik Exposit Strategic Arif Susanto mengatakan, sejak masa jabatan sebagai Panglima TNI berakhir, nama Gatot memang beredar dalam bursa cawapres. Bahkan, sebagaian kelompok menempatkannya dalam daftar calon presiden.
Sejak saat itulah, tutur Arif, popularitas Gatot terus melonjak secara perlahan. Menurutnya, hal itu pula ditopang oleh pandangan bahwa figur mantan militer dibutuhkan untuk mengendalikan dinamika politik dan keamanan yang cenderung labil.
Menurut Arif, adanya preferensi pada figur mantan militer disebabkan karena adanya ketidakpuasan kepada kinerja kepemimpinan tokoh sipil yang berpadu dengan kerinduan pada masa lalu saat politik dikontrol militer.