Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dradjad H Wibowo
Ekonom

Ekonom, Lektor Kepala Perbanas Institute, Ketua Pembina Sustainable Development Indonesia (SDI), Ketua Pendiri IFCC, dan Ketua Dewan Pakar PAN.

Baik, Pak Menko, Mari Lihat Data...

Kompas.com - 27/03/2018, 18:08 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini


DALAM
acara Orientasi Fungsionaris Partai Golkar pada Minggu (25/3/2018), Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan dikutip pers berkata, “Jadi, kalau berkelahi pakai data....”

(Baca juga: Luhut: Kader Golkar Bicara Pakai Data, Jangan Asal Sebut Orang Ngibul)

Saya tidak sepakat dengan kata “berkelahi”. Terlebih lagi pakai ancaman sebelumnya. Kritik tajam kepada pemerintah seperti dilontarkan Pak Amien Rais itu lumrah dalam demokrasi.

Pak Amien sudah puluhan tahun mengkritisi ketimpangan penguasaan aset ekonomi Indonesia, termasuk tanah. Bahkan, pada 2008 hal tersebut ditulis dalam buku “Selamatkan Indonesia”.

(Baca juga: Amien Rais: Saya Kasih Kartu Merah untuk Jokowi)

Namun, saya setuju dengan Pak Menko soal data. Jadi, mari kita lihat data. Kita mulai dengan sertifikasi tanah. Program inilah yang menjadi andalan kebijakan pertanahan Presiden Jokowi. Untuk mudahnya, saya sebut Bagi-Bagi Sertifikat (BBS).

Pertama, pemerintah menyatakan berhasil mencapai target BBS sejumlah 5 juta bidang tanah pada 2017. Ini dimuat dalam situs Seskab, dan disampaikan Presiden dalam berbagai kesempatan.

Padahal, selama 32 bulan (2015-Agustus 2017), yang selesai sertifikasinya baru 2.889.993 bidang. Jadi rata-rata sekitar 90.300 bidang per bulan. Namun, selama 4 bulan berikutnya, ada 2,1 juta yang diselesaikan, atau 527.500 bidang per bulan. Sebuah lonjakan 5,8 kali lipat!

Tenane ta? Itu reaksi pertama saya ketika melihat datanya. Ternyata, Kementerian Agraria sendiri mengakui, jumlah bidang yang selesai baru 4,23 juta.

(Baca juga: Soal Reforma Agraria, Jokowi Dinilai Sama Saja dengan SBY)

Jadi realitasnya, BBS meleset 15,4 persen dari target! Itu pun dengan capaian per bulan yang naik 3,7 kali lipat. Namun, pemberitaan yang muncul, BBS berhasil 5 juta.

Kedua, salah satu komponen penting Reforma Agraria (RA) adalah redistribusi tanah. Ternyata kontribusi redistribusi ini sangat kecil. Sebagai misal, dalam periode 2015-Agustus 2017 terdapat 245.097 bidang tanah redistribusi yang mendapat sertifikat. Ini hanya 8,5 persen dari jumlah sertifikat! Itu pun belum jelas, apakah ada redistribusi dari korporasi besar.

(Baca juga: Sentilan Amien Rais dan Mengembalikan Reforma Agraria ke Relnya...)

Harus diakui, BBS ini pemberitaannya luar biasa. Nilai politisnya pun sangat tinggi bagi Presiden. Namun, meski saya tidak memakai istilah “pengibulan”, faktanya kinerja BBS berbeda jauh dengan pemberitaannya, khususnya dari sudut redistribusi tanah.

Padahal, BBS itu relatif lebih ringan dibandingkan RA. RA itu pelik dan kompleks. RA harus bisa mengoreksi ketimpangan penguasaan tanah dan sekaligus ketimpangan aliran manfaat dari tanah. Jika tidak tepat konsep dan implementasinya, RA bisa kontra-produktif, bahkan menghancurkan perekonomian.

Contohnya adalah Zimbabwe. Pada 2000, (mantan) Presiden Mugabe mempercepat reformasi agraria. Efeknya, Zimbabwe dihantam hyper-inflation dan kekurangan pangan yang parah, akibat ambruknya sektor pertanian.

Itulah sebenarnya esensi kritik pak Amien. Yaitu, jangan sibuk dengan BBS saja, tapi jalankan RA secara benar. Jangan sampai bernasib sama dengan Zimbabwe.

(Baca juga: Geram, Luhut Ancam Bongkar Dosa Orang yang Asal Kritik Pemerintah)

Terakhir, dari sisi data, kritik pak Amien itu konsisten dengan data Rasio Gini Lahan (RGL) yang terdapat dalam “Hasil Riset Oligarki Ekonomi”. Laporan ini dirilis pada 27 Desember 2017 oleh Megawati Institute. Pada halaman 5 terdapat angka RGL 0,55 (1973), 0,5 (1983), 0,64 (1993), 0,72 (2003) dan 0,68 (2013), dengan sumber BPS.

Silakan dihitung sendiri, jika 1 persen sampai 2 persen penduduk menguasai 74 persen lahan, berapa RGL-nya. Mudah kok menghitungnya. Di sisi lain, Walhi pada 22 Maret 2018 merilis angka 82 persen lahan di Indonesia dikuasai oleh korporasi.

Karena administrasi pertanahan dan sistem informasinya masih relatif lemah, variasi data seperti di atas tidak terhindarkan. Namun, faktanya sama, ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia sangat tinggi. Bahkan sebenarnya, lebih tinggi dari ketimpangan pendapatan.

Sebagai penutup, saya mendukung percepatan sertifikasi tanah. Namun, jangan lalu RA terabaikan sehingga ketimpangan tidak teratasi. Mohon diingat, RGL tertinggi (terburuk) itu terjadi pada 2003. Karena itu, Presiden Joko Widodo punya kewajiban moral yang lebih besar untuk mengoreksinya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

PKB Jajaki Pembentukan Koalisi untuk Tandingi Khofifah di Jatim

PKB Jajaki Pembentukan Koalisi untuk Tandingi Khofifah di Jatim

Nasional
PKB Bilang Sudah Punya Figur untuk Tandingi Khofifah, Pastikan Bukan Cak Imin

PKB Bilang Sudah Punya Figur untuk Tandingi Khofifah, Pastikan Bukan Cak Imin

Nasional
KPK Sita Gedung Kantor DPD Nasdem Milik Bupati Nonaktif Labuhan Batu

KPK Sita Gedung Kantor DPD Nasdem Milik Bupati Nonaktif Labuhan Batu

Nasional
MA Kuatkan Vonis 5 Tahun Penjara Angin Prayitno Aji

MA Kuatkan Vonis 5 Tahun Penjara Angin Prayitno Aji

Nasional
Soal Jokowi Jadi Tembok Tebal antara Prabowo-Megawati, Sekjen PDI-P: Arah Politik Partai Ranah Ketua Umum

Soal Jokowi Jadi Tembok Tebal antara Prabowo-Megawati, Sekjen PDI-P: Arah Politik Partai Ranah Ketua Umum

Nasional
TNI-Polri Bahas Penyalahgunaan Pelat Nomor Kendaraan yang Marak Terjadi Akhir-akhir Ini

TNI-Polri Bahas Penyalahgunaan Pelat Nomor Kendaraan yang Marak Terjadi Akhir-akhir Ini

Nasional
Andi Gani Ungkap Alasan Ditunjuk Jadi Penasihat Kapolri Bidang Ketenagakerjaan

Andi Gani Ungkap Alasan Ditunjuk Jadi Penasihat Kapolri Bidang Ketenagakerjaan

Nasional
PKB Siap Bikin Poros Tandingan Hadapi Ridwan Kamil di Pilkada Jabar

PKB Siap Bikin Poros Tandingan Hadapi Ridwan Kamil di Pilkada Jabar

Nasional
Hari Pendidikan Nasional, Serikat Guru Soroti Kekerasan di Ponpes

Hari Pendidikan Nasional, Serikat Guru Soroti Kekerasan di Ponpes

Nasional
Bukan Staf Ahli, Andi Gani Ditunjuk Jadi Penasihat Kapolri Bidang Ketenagakerjaan

Bukan Staf Ahli, Andi Gani Ditunjuk Jadi Penasihat Kapolri Bidang Ketenagakerjaan

Nasional
Anies Belum Daftar ke PKB untuk Diusung dalam Pilkada DKI 2024

Anies Belum Daftar ke PKB untuk Diusung dalam Pilkada DKI 2024

Nasional
PAN Persoalkan Selisih 2 Suara tapi Minta PSU di 5 TPS, Hakim MK: Mungkin Enggak Setengah Suara?

PAN Persoalkan Selisih 2 Suara tapi Minta PSU di 5 TPS, Hakim MK: Mungkin Enggak Setengah Suara?

Nasional
Kuasa Hukum KPU Belum Paham Isi Gugatan PDI-P di PTUN

Kuasa Hukum KPU Belum Paham Isi Gugatan PDI-P di PTUN

Nasional
KPK Sita Pabrik Kelapa Sawit Bupati Nonaktif Labuhan Batu, Nilainya Rp 15 M

KPK Sita Pabrik Kelapa Sawit Bupati Nonaktif Labuhan Batu, Nilainya Rp 15 M

Nasional
Sidang Praperadilan Tersangka TPPU Panji Gumilang Berlanjut Pekan Depan, Vonis Dibacakan 14 Mei

Sidang Praperadilan Tersangka TPPU Panji Gumilang Berlanjut Pekan Depan, Vonis Dibacakan 14 Mei

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com