JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin mengungkapkan, keberadaan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 13 Tahun 2018 bisa memenuhi tiga urgensi dalam pembangunan transparansi di Indonesia.
Perpres itu mengatur tentang Penerapan Prinsip Mengenai Pemilik Manfaat Atas Korporasi Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.
"Setidaknya ada 3 urgensi yang telah diidentifikasi oleh PPATK, yaitu untuk melindungi korporasi dan pemilik manfaat yang beritikad baik, untuk kepastian hukum atas pertanggungjawaban pidana, dan untuk efektivitas penyelamatan aset," ujar Kiagus dalam paparannya di Hotel Grand Mercure, Jakarta, Selasa (27/3/2018).
Menurut Kiagus, dalam poin pertama, keberadaan pemilik manfaat secara penuh bukan hal yang dilarang dalam hukum Indonesia.
Meski demikian, perpres ini juga meningkatkan mitigasi risiko agar korporasi mengeluarkan saham atas nama pemilik dan tidak boleh mengeluarkan saham atas tunjuk.
Sementara, poin berikutnya, ditujukan untuk menciptakan kepastian hukum atas tindak pidana dan penyelamatan aset.
Kiagus menilai, kejahatan-kejahatan pencucian uang telah melibatkan dan menghasilkan harta kekayaan yang sangat besar.
Korporasi, kata dia, kerapkali digunakan oleh pelaku tindak pidana untuk menyembunyikan dan menyamarkan identitas pelaku dan hasil tindak pidana.
"Aset atau hasil tindak pidana yang melibatkan korporasi kerapkali melibatkan jumlah yang cukup besar, baik dari hasil tindak pidana atau harta kekayaan turunan hasil tindak pidana seperti dividen dan laba," kata dia.
Kiagus mengakui, Indonesia telah memiliki UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) yang telah mengatur ketentuan mengenai transparansi pemilik manfaat.
Akan tetapi, ketentuan yang dimaksud hanya bersifat terbatas, dan belum dapat memotret informasi pemilik manfaat dari suatu korporasi yang ada di Indonesia.
"Kementerian dan lembaga terkait, khususnya Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Koperasi dan UKM perlu bekerja keras untuk mensosialisasikan Perpres Nomor 13 Tahun 2018 sesuai lingkup kewenangannya masing-masing ke masyarakat," ujarnya.
Penguatan perpres ini juga ditujukan khususnya kepada orang-orang yang menjadi pengendali korporasi, baik berbentuk badan hukum maupun tidak berbadan hukum.
Melalui perpres ini, maka korporasi wajib menilai sendiri (self-assessment), menetapkan serta mengungkapkan (declare) pemilik manfaat dari korporasi dimaksud, baik orang perorangan yang tercantum dalam dokumen resmi yang dikeluarkan oleh otoritas yang berwenang maupun orang perorangan yang tidak tercantum dalam dokumen resmi.
"Orang perorangan dimaksud memiliki kemampuan untuk menunjuk atau memberhentikan direksi, dewan komisaris, pengurus, pembina, atau pengawas pada korporasi, mengendalikan korporasi, berhak dan menerima manfaat dari korporasi, serta langsung atau tidak langsung merupakan pemilik sebenarnya dari dana atau saham korporasi," papar Kiagus.
Ia mengingatkan, korporasi yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam perpres Nomor 13 Tahun 2018 akan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
"Diharapkan akan mendorong terwujudnya korporasi yang berintegritas dan jauh dari tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme," ujar Kiagus.