JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan, permohonan uji materi terkait Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal tidak dapat diterima.
Ketua MK Arief Hidayat menuturkan bahwa permohonan Pemohon tidak jelas atau kabur, karena itu permohonan tersebut tidak dipertimbangkan lebih lanjut.
"Konklusi, Mahkamah menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima," ujar Arief dalam sidang pembacaan putusan di gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (21/2/2018).
Dalam pertimbangan hukum, MK menyatakan, mengetahui obyek permohonan pengujian undang-undang terkait kewajiban sertifikasi halal. Namun, MK tidak dapat memahami apa sesungguhnya yang diinginkan oleh Pemohon.
Sebab, meskipun terdapat rumusan petitum dalam permohonan tersebut, MK menilai rumusan petitum tersebut tidak lazim dan membingungkan.
Terlebih lagi, petitum dimaksud tidak sejalan dengan posita permohonan Pemohon.
(Baca juga: Molor, Belum Satu Pun Peraturan Pelaksana Jaminan Produk Halal Rampung)
Padahal, kata MK, posita dan petitum permohonan merupakan hal yang sangat fundamental bagi Mahkamah dalam menilai dan memutus setiap perkara.
"Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon tidak jelas atau kabur (obscuur libel) dan karenanya tidak dipertimbangkan lebih lanjut," kata Arief.
Sebelumnya, Paustinus Siburian yang berprofesi sebagai advokat mengajukan permohonan uji materi Pasal 1 Ayat (1) dan (2), Pasal 3 huruf a, Pasal 4, dan Pasal 18 Ayat (2) UU Jaminan Produk Halal.
Ia menilai, UU tersebut tidak memberikan pembatasan-pembatasan mengenai halal tidaknya suatu produk, baik menyangkut bahan maupun proses produksi.
Pemohon merasa tidak tepat jika pembentuk undang-undang menyusun undang-undang tersebut untuk masyarakat. Sebab, Pemohon adalah anggota masyarakat yang tidak diwajibkan untuk mendapatkan jaminan produk halal.
Seharusnya, kata Paustinus, undang-undang menyebutkan dengan tegas yang menjadi sasarannya, yaitu umat Islam atau konsumen Muslim seperti dalam Fatwa MUI Nomor 12 Tahun 2009 tentang Standar Sertifikasi Penyembelihan Halal.
Selanjutnya, ia menjelaskan, ketentuan yang diujikan menyatakan produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan harus bersertifikat halal.
Pengertian demikian akan berdampak suatu produk yang dibeli di luar negeri untuk penggunaan akhir di Indonesia tidak perlu bersertifikat halal karena tidak beredar dan diperdagangkan.
Selain itu, dapat juga ditafsirkan pemesanan secara online untuk penggunaan akhir tidak wajib bersertifikat halal.
Kemudian, kewajiban sertifikasi halal dalam Pasal 4 UU Jaminan Produk Halal akan menyebabkan kenaikan biaya yang tidak perlu dan membebankan konsumen.
Dengan demikian, dalam petitum-nya, Pemohon meminta ketentuan tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.