SEJAK bulan Juli 2017 Profesor Daoed Joesoef (DJ), begitu saya memanggilnya, sudah meminta saya untuk menjadi pengulas buku memoarnya yang rencananya diluncurkan pada 8 Agustus 2017. Namun rencana itu meleset, karena proses koreksi terus-menerus dilakukannya.
Sebagai sosok yang merasakan tiga zaman babak bangsa, ia perlu memberikan sentuhan hati-hati karena apa yang disampaikannya telah menjadi sejarah bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.
Mencapai umur 90 tahun adalah kemewahan bagi banyak orang. Ia tentu masih bisa menjadikan pengalaman puluhan tahun lalu itu sebagai pelajaran generasi muda.
Memoarnya ini sendiri tidak cukup tepat dikatakan catatan biografis karena ada gagasan intelektual, catatan etnografis tentang Medan sebagai kota pertama kehidupannya yang dikenal sebagai Parijs van Soematra, wacana politik, persuasi moral, dan pesan pedagogik yang menjadi pakaian seumur hidup pengabdiannya.
Berkali-kali Prof DJ menelpon saya agar saya tetap menjadi pembicara meskipun jadwal terus berubah.
Akhirnya, ia ingin menjadikan momentum 28 Oktober 2017 sebagai puncak peluncuran buku itu di Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Itu lembaga think tank yang ikut didirikan dan dibesarkannya.
Untuk keperluan saya ke Jakarta, hotel dan tiket penerbangan telah diurus oleh sang menantu, Dr. Bambang Pharmasetiawan, jauh-jauh hari.
“Saya tak ingin Kemal terlunta-lunta di Jakarta,” sebuah ungkapan yang membuat saya geli.
Namun lagi-lagi, acara peluncuran buku itu terpaksa dimajukan pada 26 Oktober 2017. Alasannya 28 Oktober jatuh pada hari Sabtu dan dikenal “hari mati” untuk diskusi.
Rata-rata peserta yang diundang hadir adalah para intelektual dan mantan birokrat gaek yang enggan mengisi akhir pekan dengan acara diskusi.
Warisan Bangsa
25 Oktober petang saya tiba di rumahnya di daerah Kemang, Jakarta Selatan dari bandara. Setelah salat magrib di rumah yang sangat ikonik dosen era 70-an, dengan pintu berkasa dan halaman luas dengan tanaman bunga dan buah, ia memegang lutut saya, sambil sedikit terisak, bahwa buku “Rekam Jejak Anak Tiga Zaman” adalah bagian dari warisannya kepada bangsa ini. Ia tak tahu apakah masih ada waktu untuk menerbitkan buku setelah ini.
Ia memberikan satu dokumen tentang lembaga penelitian dan dokumentasi di Aceh pada tahun 70-an. Ia mengharapkan saya melakukan pelacakan dan pemetaan gerakan penerbitan dan kepustakaan di Aceh dari dokumen itu.
Ia masih ingat cerita saya beberapa tahun lalu, bahwa Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA) yang diresmikan oleh menteri Pendidikan dan Kebudayaan Syarief Thayeb telah terlunta-lunta karena pemerintah di Aceh tak menganggapnya penting.
Nasib PDIA mirip lembaga dokumentasi Belanda yang menyimpan manuskrip dan historiografi Aceh, Koninklijk Instituut voor Taal-Land-en Volkenkunde (KITLV), yang kini juga kekurangan dana.