Saya tanyakan itu karena terkesan kontradiktif dengan pemikiran kritis DJ sebagaimana tertuang pada tulisan-tulisannya di Kompas dan Suara Pembaruan. Tulisan-tulisan itu diproduksinya dengan “mesin tik Nietzsche”, karena ia memang tak menguasai komputer dan internet.
Dengan tenang DJ merefleksikan kebijakannya ketika menjadi menteri itu tanpa gelegak kemarahan dan kecewa. Menurutnya, apa yang terjadi pada gerakan mahasiswa awal Orde Baru itu tidak bisa disamakan dengan gerakan “kiri baru” Eropa Barat atau Perancis era 60-an.
“Mahasiswa saat itu diagungkan oleh rakyat karena statusnya, dan bukan karena ketajaman intelektualitas dan kualitas akademisnya,” kata dia.
Seperti diketahui, sejak aksi Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari) demonstrasi terus-menerus menampar wajah rezim Orde Baru. Seorang perwira polisi mengadu kepada DJ bahwa sejak menjadi Menteri, kerjanya semakin padat untuk menghalau gerakan mahasiswa yang menyerbu ruang publik, mengemboskan ban-ban mobil, dan memacetkan jalan-jalan.
Kampus tidak bisa mengontrol Dewan Mahasiwa (Dema) yang bahkan lebih besar dari institusi kampus. DJ sesungguhnya tidak melarang aktivisme politik mahasiswa melalui organisasi kemahasiswaan seperti HMI, PMII, GMKI, PMKRI. Sebaliknya ia ingin gerakan intra mahasiswa memperkuat pada aksi-aksi ilmiah.
Menurut DJ organisasi kemahasiswaan eksternal dibentuk bukan untuk urusan “perpeloncoan, piknik, dan dansa-dansi” semata, tapi sangat efektif digunakan untuk berpolitik seperti Mohammad Hatta yang membentuk Perhimpunan Indonesia ketika di Belanda (h. 233).
Arus pemikiran DJ sebenarnya jernih, agar mahasiswa memperkuat daya kritisnya dengan nalar intelektual selain keterampilan ritual aksi jalanan.
Ketika akhirnya saya mendengar kabar meninggalnya Prof. Daoed Joesoef (DJ) dari sebuah grup whatsapp Selasa, 23 Januari 2017 pukul 23.55 WIB perasaan saya terguncang-guncang.
Malam itu saya gelisah sehingga tak bisa memejamkan mata. Kedukaan itu menjadi untaian ingatan tentang apa yang belum saya tuntaskan, yaitu melanjutkan pendidikan doktoral seperti yang terus disarankannya.
Pernah suatu malam dan sudah mulai larut ia menelpon saya hanya untuk memberikan usulan judul disertasi tentang foklore dan peribahasa seluruh Nusantara. Ia menganggap tema antropologi budaya itu penting untuk menyelamatkan local genius bangsa ini.
Kenasionalan kita sebenarnya ditentukan oleh lokalitas daerah di seluruh Nusantara, bukan ditera oleh Jakarta dan Senayan saja.
Selamat jalan Pak Daoed Joesoef! Kehidupan di alam sana jelas lebih membahagiakan dan jauh dari kepura-puraan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.