JAKARTA, KOMPAS.com - Komisioner Komnas HAM Muhammad Nurkhoiron mengatakan, Komnas HAM tak bisa menggunakan 39 dokumen tentang peristiwa 30 September 1965 milik Pemerintah Amerika Serikat sebagai bukti untuk penyelesaian kasus tersebut.
Hal itu disampaikannya menanggapi permintaan Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965-1966, Bedjo Untung. /
Bedjo meminta Komnas HAM menindaklanjuti dokumen tersebut dan memasukkannya sebagai bukti tambahan.
"Lebih tepatnya dijadikan petunjuk. Petunjuk ada dokumen-dokumen baru yang perlu ditelusuri kembali. Misal polanya sistematis dan meluas," kata Nurkhoiron, di Kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Selasa (24/10/2017).
"Misal keterlibatan Soeharto, itu petunjuk. Tapi untuk membuktikan Soeharto terlibat, kan harus ada surat perintahnya, bagaimana komandonya," lanjut dia.
Baca: Komnas HAM Diminta Gunakan Dokumen AS soal 1965 untuk Langkah Yudisial
Oleh karena itu, menurut dia, tidak tepat jika Komnas HAM diminta untuk menindaklanjuti dokumen setebal 30.000 halaman tersebut.
"Itu bukan Komnas HAM. Komnas HAM sudah selesai sebelum ada klasifikasi dokumen itu. Komnas HAM penyelidikannya sudah selesai dan disampaikan ke Kejaksaan Agung," kata Nurkhoiron.
Pada hari ini, Bedjo Untung mendatangi Komnas HAM dan menyampaikan permintaannya.
"Temuan ini saya mohon Komnas HAM segera tindak lanjuti minta dokumennya dan jadi bahan bukti. Saya harap Komnas HAM lakukan penyelidikan, jangan sampai hanya berhenti di Kejagung," kata Bedjo.
Menurut Bedjo, dokumen yang berasal dari National Security Archive (NSA), National Declassification Center (NDC), dan lembaga negara National Archives and Records Administration (NARA) Amerika Serikat itu bisa menjadi bukti kuat dasar pembantaian pada 1965-1966 adalah rekayasa.
Baca juga: Dibukanya Dokumen AS soal 1965 Dinilai Jadi Momentum Ungkap Kebenaran
"Rekayasa dari CIA kerja sama dengan TNI Angkatan Darat untuk menggulingkan Bung Karno dengan lebih dulu menghancurkan PKI. Ini bukti valid. Tuduhan orde baru ke PKI tidak betul," kata Bedjo.
Sebelumnya, Direktur Amnesti Internasional Indonesia, Usman Hamid, meminta Komnas HAM untuk menggunakan arsip 1965 milik AS itu guna melengkapi dokumen kejahatan kemanusiaan 1965 yang telah dimiliki Komnas HAM.
"Komnas HAM kami imbau untuk mengambil langkah proaktif menggunakan arsip yang baru dibuka sebagai pelengkap informasi upaya pengusutan kejahatan kemanusiaan peristiwa 1965," kata Usman.
Usman mengatakan, dibukanya dokumen terkait tragedi 1965 milik AS itu penting untuk menambah bahan informasi bagi Indonesia, khususnya Komnas HAM dalam mengumpulkan fakta peristiwa tragedi 1965-1966.
"Yang penting dari dokumen itu adalah penggambaran pembunuhan itu terjadi. Siapa saja yang terlibat, hingga bagaimana pemerintah AS terlibat. Momentum baru sangat mungkin diciptakan kalau ada kemauan Pemerintah," kata dia.