JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pendahuluan uji materi Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE), Rabu (4/10/2017).
Permohonan uji materi itu dilayangkan Advokat Cinta Tanah Air (ACTA), salah satunya kuasa hukum yang juga Kepala Bidang Advokat DPP Partai Gerindra, Habiburokhman.
Saat berlangsungnya persidangan, ada saja hal yang membuat hakim menegur para pengacara. di antaranya karena ada kuasa hukum yang terlambat, mengulang-ulang dasar permohonan uji materi, hingga soal perbaikan dasar permohonan.
Misalnya, saat pembukaan persidangan, salah satu kuasa hukum bernama Ahmad Leksono menyebutkan nama-nama kuasa hukum yang tercatat dalam permohonan. Akan tetapi, mereka tidak hadir di persidnagan.
"Yang tidak hadir Ibnu Wahyudi, kemudian Agustiar, Dahlan Pido, Fauziah Suci Cahyani, Iser Tambunan, Said Basri, Herdiansyah, Jamaal Kasim, Ade Irvan Pulungan, Munathsir Mustaman, Muda R. Siregar, Ali Asgar, Habib Novel Khaidir Hasan, Alex Chandra, Ali Akbar..." ujar Ahmad.
Ternyata, nama-nama yang disebutkan Ahmad tersebut belum menandatangani permohonan uji materi dalam kapasitas sebagai pemohon.
Ahmad berjanji akan meminta tanda tangan mereka dalam perbaikan permohonan uji materi yang disampaikan pada sidang selanjutnya.
Selain itu, hakim Suhartoyo juga sempat memotong penyampaian dasar permohonan yang dibacakan karena dianggap mengulang-ulang.
Hal itu terjadi saat Ahmad Leksono menyampaikan bahwa dalam negara hukum, seharusnya pendekatan yang diutamakan adalah pendekatan hukum, bukannya pendekatan kekuasaan.
"Ya, itu enggak usah diulang-ulang itu. Langsung ke petitum. Itu sudah jelas semua," ujar Suhartoyo dengan nada tinggi.
Setelah Ahmad Leksono membacakan dasar permohonannya, giliran panelis yang menyampaikan pendapat.
Suhartoyo menilai, sebenarnya dasar permohonan bisa dibuat sederhana dan tidak perlu terlalu panjang.
"Jadi, clear ya, sebenarnya permohonan Anda itu sederhana dan tidak harus sampai 78 poin argumen ini. Ini bisa dipadatkan cukup 15 saja. Yang penting sederhana dan jelas," ujar Suhartoyo.
Ahmad berjanji memperbaiki dasar permohonan dan akan disampaikan dalam sidang selanjutnya, pada 17 Oktober 2017.
ACTA memohon MK untuk menguji materi Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE.
Menurut pemohon, pemberlakuan pasal-pasal tersebut berpotensi dijadikan alat untuk mengkriminalisasi pemohon dalam mengeluarkan pendapat karena ada ketidakjelasan dari definisi 'antargolongan' di dalam pasal itu.
"Istilah 'antargolongan' dalam Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE tidak jelas apa batasannya sehingga dalam penerapannya bisa diartikan sangat luas menjadi kelompok apapun yang ada dalam masyarakat, baik yang bersifat formal maupun non formal," ujar Ahmad Leksono.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.