Selain itu, masalah juga muncul karena hilangnya dokumen tim pencari fakta kasus kematian aktivis HAM Munir Bin Said Thalib dari Sekretariat Negara.
Jokowi meminta Jaksa Agung menelusuri keberadaan dokumen tersebut.
SBY kemudian merasa dituduh bertanggung jawab atas hilangnya dokumen tersebut.
Ia lalu mengirimkan salinan dokumen TPF yang dimilikinya ke Sekretariat Negara.
Dengan dikirimnya salinan dokumen tersebut, SBY menegaskan bahwa pengusutan kasus Munir sepenuhnya ada di tangan Jokowi.
Hubungan SBY-Jokowi sempat dingin saat keduanya bertemu pada awal Maret 2017 lalu.
Pertemuan tersebut digelar di Istana atas permintaan SBY yang hendak blak-blakan dan mengklarifikasi sejumlah isu ke Jokowi.
Baca: Bertemu di Istana, Ini yang Dibicarakan Jokowi dan SBY
Namun, tak lama berselang, di penghujung Maret 2017, hubungan Jokowi-SBY kembali memanas karena persoalan mobil dinas.
Semua berawal dari cerita mobil dinas Mercedes Benz S-600 Pullman Guard hitam Jokowi mogok saat kunjungan ke Kalimantan Barat.
Kepala Sekretariat Presiden Darmansjah Djumala mengungkapkan bahwa satu mobil dinas dengan merk yang sama belum dikembalikan oleh SBY.
Tak lama setelah itu, SBY langsung mengembalikan mobil dinas tersebut ke Istana.
Yang terbaru, pada akhir Juli lalu, SBY bertemu dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.
Keduanya menyatakan penolakan terhadap keputusan pemerintah dan mayoritas Fraksi DPR mengesahkan Undang-Undang Pemilu dengan ketentuan presidential threshold 20 persen kursi dan 25 persen suara sah nasional.
Ketentuan soal presidential threshold dinilai sudah tak relevan karena pemilu legislatif dan pemilihan presiden pada 2019 digelar serentak.
SBY mengatakan, bahwa ia bersama Prabowo sepakat mengawasi penguasa agar tak melampaui batas.
Baca: SBY dan Prabowo Sepakat Mengawasi Penguasa agar Tak Melampaui Batas
Sehari kemudian, Jokowi menanggapi pernyataan SBY dengan menegaskan bahwa saat ini pemerintahannya tidak berpuasa secara mutlak.
Patut dicontoh
Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Indria Samego menilai, sebagai anak muda, Gibran dan Agus memiliki gaya sendiri.
Mereka tidak terpaku dengan pasang surut hubungan kedua ayahnya.
"Semoga apa yang dilakukan Agus dan Gibran menjadi contoh bagi generasinya di dalam memahami makna politik dan perbedaan. Jangan karena beda warna partai, silaturahim pun bubar," kata Indria.
Sementara, Direktur Eksekutif Voxpol Center Pangi Syarwi Chaniago mengatakan, keakraban Gibran dan Agus bisa menurunkan tensi Jokowi dan SBY yang selama ini kerap bersitegang.
"Kekerabatan yang penuh kehangatan antara Agus dan Gibran patut dijadikan contoh yang baik oleh orangtua mereka," kata dia.
Di sisi lain, pengamat politik dari Universitas Gajah Mada, Mada Sukmajati menilai, kunjungan Agus ke Istana tidak hanya sekadar untuk meminta doa restu dan mengantar undangan peresmian The Yudhoyono Institute.
Lebih dari itu, ia melihat, kunjungan Agus sebagai penjajakan dari pihak SBY untuk lebih intens lagi dalam berinteraksi dengan pihak Jokowi.
Menurut dia, keterlibatan anak dalam politk sudah biasa dilakukan baik di luar negeri maupun di dalam negeri oleh para pemimpin terdahulu seperti Soekarno.
"Kehadiran anak di Istana atau politik adalah penting untuk memperlihatkan bahwa politik kita masih dalam batas etis, di dalam norma sosial ketimuran. Tidak merupakan politik yang kejam," kata Mada.
"Perlu dikembangkan ke depan karena siapa tau bisa menjadi alternatif bagi negosiasi-negosiasi politik yang mandek," ujar dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.