JAKARTA, KOMPAS.com - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengingatkan industri penyedia jasa keuangan bahwa pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal juga bisa dilakukan oleh perusahaan atau entitas bisnis legal.
Lantas, apa yang harus dilakukan oleh industri jasa keuangan agar tak menjadi sarana atau fasilitator pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal?
Kepala Grup Penanganan Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme OJK Heni Nugraheni mengatakan, penyedia jasa keuangan perlu memahami bahwa target pencegahan pengembangan senjata pemusnah massal dilakukan terhadap keseluruhan jaringannya.
"Tidak hanya proliferatornya (pihak pengembang) saja, tetapi juga supporters (pendukung) dan support structures (struktur pendukung), serta asetnya," kata Heni di Jakarta, Kamis (10/8/2017).
Proliferator atau pengembang senjata pemusnah massal ini bisa berupa individu atau organisasi. Sedangkan support structures bisa berupa penyandang dana (financiers), pendukung logistik, front company, serta jasa pengiriman (shipping lines and suppliers).
Jaringan proliferasi senjata pemusnah massal tersebut bisa memanfaatkan sektor keuangan baik secara formal maupun informal.
Sebab, kata Heni, entitasnya bisa berupa entitas legal, tetapi sebetulnya bisnisnya hanya dijadikan kedok untuk mendanai pengembangan senjata pemusnah massal.
"Ada banyak sekali perusahaan-perusahaan fiktif yang digunakan sebagai kedok untuk generate income atau membuat alur jaringan supaya mendapatkan bahan-bahan yang dibutuhkan dalam pembuatan senjata pemusnah massal," ucap Heni.
Jaringan proliferasi senjata pemusnah massal juga sangat mungkin melakukan transaksi sah dan legal. Ini dikarenakan bahan-bahan yang dibutuhkan dalam pembuatan senjata pemusnah massal tersedia di pasar secara bebas dan terbuka.
Heni menambahkan, jaringan tersebut sering menggabungkan mekanisme yang legal dan yang ilegal.
"Misalnya, melakukan transaksi dalam sistem keuangan secara sah. Namun, menggunakan perantara gelap, perusahaan cangkang (shell companies), dan pialang perdagangan ilegal," ujar Heni.
(Baca juga: PPATK Blokir Aset Penyandang Dana Pengembangan Senjata Pemusnah Massal)
Setelah memahami bagaimana jaringan proliferasi senjata pemusnah massal bekerja, Heni berharap penyedia jasa keuangan bisa melakukan identifikasi dan pemantauan terhadap data, informasi, serta transaksi dari setiap nasabah.
Misalnya, dengan melakukan CDD (customer due diligence) atau proses identifikasi terhadap calon nasabah, nasabah, atau beneficial owner (BO).
Beneficial owner juga perlu diperhatikan. Sebab, kata Heni, umumnya pelaku kejahatan tidak suka tampil di depan, melainkan dua-tiga lapis di belakang.
"Apa lini usaha atau bisnis utama nasabah? Siapa dan bagaimana rekanan bisnis nasabah yang sering bertransaksi dengan nasabah? Masuk akal tidak dengan lini bisnis utamanya? Misalnya restoran. Kenapa dia beli bahan kimia ya?," kata Heni, mencontohkan.
Penyedia jasa keuangan, lanjut Heni, juga harus memahami bagaimana jenis dan ukuran transaksi yang biasa dilakukan nasabah. Sehingga apabila ada transaksi yang di luar kebiasaan (unusual) bisa langsung dideteksi.