JAKARTA, KOMPAS.com - Rabu (24/5/2017), hampir pukul 21.00, ketika arus lalu lintas di sekitar Terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur, tak terlalu ramai. Polisi, dengan jumlah lebih banyak dari biasanya, berjaga-jaga mengamankan jalur iring-iringan pawai obor menyambut Ramadhan.
Pada malam itu, tiba-tiba terdengar suara menggelegar ledakan. Asap mengepul. Sejumlah polisi anggota Unit 1 Peleton 4 Direktorat Sabhara Polda Metro Jaya, ambruk. Terluka, ada yang tak sadarkan diri. Lima menit berselang, terdengar ledakan kedua.
Kabar berikutnya terdengar, tiga polisi dan dua warga sipil yang diduga pelaku peledakan bom bunuh diri meninggal. Ketiga polisi itu lalu dimakamkan di kampung halamannya.
”Awalnya kami tidak percaya,” kata Busono Herry (65), seusai pemakaman Bripda Taufan Tsunami (22) di TPU Pondok Ranggon, Jakarta Timur, Kamis (25/5/2017). Anak lelaki satu-satunya itu merupakan satu dari tiga polisi yang meninggal.
Busono tak percaya kabar awal itu. Dua jam sebelum ledakan, Taufan menelepon ibunya dan mengabarkan akan membawakan buah duren besar, sekitar pukul 01.00, selepas tugas.
Namun, akhirnya keluarga itu bisa menerimanya.
(Baca: Teroris ISIS Klaim Serangan Bom Bunuh Diri di Kampung Melayu)
”Saya bangga anak saya gugur saat menjalankan tugas negara,” kata Busono, sambil mendekap foto Taufan yang berpakaian dinas. Taufan masih tinggal bersama kedua orangtuanya di Kecamatan Jakasampurna, Kota Bekasi.
Kebanggaan yang sama disampaikan Gunawan, ayah Bripda Ridho Setiawan (21). Meskipun sangat berduka, ia ikhlas anak bungsunya itu berpulang. Pada Rabu pukul 07.00, Ridho pamit berangkat kerja. Tak seperti biasanya, pagi itu ia terlihat berat meninggalkan rumah.
”Dia sampai harus dibangunkan dua kali oleh ibunya. Saat mau berangkat, dia juga sempat duduk agak lama,” katanya. Ia tak menyangka hari itu, Rabu, hari terakhir pengabdian anaknya sebagai anggota polisi di Direktorat Sabhara Polda Metro Jaya.
Saat tahu ada ledakan di Kampung Melayu, Gunawan sempat mengontak telepon anaknya. Namun, tidak diangkat. Pukul 03.00, pihak Polsek Kelapa Dua datang memberi kabar bahwa Ridho menjadi korban.
(Baca: Ingin Tolong Polisi, Sopir Kopaja Ini Jadi Korban Bom Kampung Melayu)
Jenazah Ridho disambut isak tangis keluarga dan para tetangga di kampung halamannya di Desa Negeri Katon, Kecamatan Selagai Lingga, Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung.
Meski hanya sekitar tiga tahun tinggal di desa itu, kepergian Ridho menjadi kepedihan seluruh warga desa. Orangtua, remaja, dan anak-anak di desa itu ikut menangis saat jasad Ridho dimasukkan ke liang lahat.
Masripah, nenek almarhum, berkisah, Ridho cucu yang baik dan penurut. Ia sosok panutan karena jadi cucu laki-laki tertua dalam silsilah keluarga besarnya. Keluarga besar terakhir bertemu Ridho pada Januari 2017 saat almarhum pulang ke kampung halamannya.
Sejak ia usia tiga tahun, keluarga Ridho pindah ke Tangerang, Banten. Ia menamatkan jenjang SMA tahun 2014 di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Penerbangan Dirgantara I, Jurusan Avionic Electrical.
”Anak saya dimakamkan di kampung halaman karena permintaannya. Pada Minggu (21/5/2017), ia sempat pulang dan mengatakan ingin pulang ke kampung. Menurut rencana, kami baru mau pulang kampung sekaligus mudik Lebaran. Eh, Ridho sudah duluan dan tinggal selamanya di sana (Lampung), ” ujar Gunawan.